Menu

MENU

HUKUM QISHASH DALAM ISLAM


Qisas yang selama ini kita ketahui terkadang masih dianggap sebagai sesuatu yang sangat angker, menakutkan, dan tidak manusiawi, sehingga timbul sikap yang dinamakan “Islam phobia“. Padahal, Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifatkan qisas dalam firman-Nya, 

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “ 
Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”  (Qs. al-Baqarah: 179). 

Imam asy-Syaukani menjelaskan ayat ini dengan menyatakan, 
“Maknanya, kalian memiliki jaminan kelangsungan hidup dalam hukum yang AllahSubhanahu wa Ta’ala syariatkan ini, karena bila seseorang tahu akan dibunuh secara qisas apabila ia membunuh orang lain, tentulah ia tidak akan membunuh dan menahan diri dari mempermudah dan terjerumus padanya. Dengan demikian, hal itu seperti kedudukan jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa manusia. Ini adalah satu bentuk sastra (balaghah) yang tinggi dan kefasihan yang sempurna. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan qisas yang sebenarnya adalah kematian sebagai jaminan kelangsungan hidup, ditinjau dari akibat yang ditimbulkannya, berupa tercegahnya manusia saling bunuh di antara mereka. Hal ini dalam rangka menjaga keberadaan jiwa mereka dan keberlangsungan khidupan mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyampaikan ayat ini untuk ulil albab (orang yang berakal), karena merekalah orang yang memandang jauh ke depan dan berlindung dari bahaya yang munculnya menyusul nanti. Adapun orang yang pandir, dia berpikiran pendek dan gampang emosi, ketika amarah dan emosinya bergejolak dia tidak memandang akibat yang muncul nantinya dan dia pun tidak memikirkan masa depannya.” 

[1] Dikarenakan bersikap terburu-buru dan tidak mengerti hakikat syariat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan, banyak orang bahkan kaum muslimin yang belum mau menerima atau simpati atas penegakan qisas ini. Padahal, pensyariatan qisas akan membawa kemaslahatan bagi manusia. Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Fauzan menyatakan, “Pensyariatan qisas berisi rahmat bagi manusia dan penjagaan atas darah mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

 وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ ‘
Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu.‘ 
(Qs. al-Baqarah: 179). 

Sehingga, betapa jelek orang yang menyatakan bahwa qisas itu sesuatu yang tidak berprikemanusiaan (biadab) dan keras. Mereka tidak melihat kepada kebiadaban pelaku pembunuhan ketika membunuh orang tak berdosa, ketika menebar rasa takut di daerah tersebut, dan ketika menjadikan para wanita janda, anak-anak menjadi yatim, serta hancurnya rumah tangga. Mereka ini hanya merahmati pelaku kejahatan dan tidak merahmati korban yang tak berdosa. Sungguh jelek akal dan kedangkalan mereka. 

Allah berfirman, 

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْماً لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ ‘
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?‘ (Qs. al-Ma`idah: 50)[2]

Untuk itu, penjelasan tentang qisas ini sangat diperlukan, agar kaum muslimin bisa mengerti keindahan dan rahmat yang ada dalam qisas. Definisi Qisas Kata “qisas” (قصاص) berasal dari bahasa Arab yang berarti “mencari jejak”, seperti “al-qasas“. Sedangkan dalam istilah hukum Islam, maknanya adalah pelaku kejahatan dibalas seperti perbuatannya, apabila ia membunuh maka dibunuh dan bila ia memotong anggota tubuh maka anggota tubuhnya juga dipotong. [3]

Sedangkan Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Fauzan mendefiniskannya dengan, “Al-Qisas adalah perbuatan (pembalasan) korban atau walinya terhadap pelaku kejahatan sama atau seperti perbuatan pelaku tadi.” [4]

Dapat disimpulkan bahwa qisas adalah mengambil pembalasan yang sama atau serupa, mirip dengan istilah “utang nyawa dibayar dengan nyawa”. Dasar Pensyariatan Qisas Qisas disyariatkan dalam al-Quran dan as-sunnah, serta ijma‘. 
Di antara dalil dari al-Quran adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنثَى بِالأُنثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ . وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, qisas diwajibkan atasmu berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka, barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Qs. al-Baqarah: 178-179). 

Sedangkan dalil dari as-Sunnah di antaranya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقْتَل “
Barangsiapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia memilih dua pilihan, bisa memilih diyat dan bisa juga dibunuh (qisas).” (HR. al-Jama’ah). 

Sedangkan dalam riwayat at-Tirmidzi adalah dengan lafal, 
مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَعْفُوَ وَإِمَّا أَنْ يَقْتُلَ 
“Barangsiapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia memilih dua pilihan, bisa memilih memaafkannya dan bisa membunuhnya.” [5]

Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa wali (keluarga) korban pembunuhan dengan sengaja memiliki pilihan untuk membunuh pelaku tersebut (qisas) bila menghendakinya, bila tidak bisa memilih diyat dan pengampunan. Pada asalnya, pengampunan lebih utama, selama tidak mengantar kepadamafsadat (kerusakan) atau ada kemashlahatan lainnya. [6]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah me-rajih-kan, bahwa pengampunan tidak boleh diberikan pada qatlu al-ghilah (pembunuhan dengan memperdaya korban). [7]

Sedangkan Ibnu al-Qayyim rahimahullah, ketika menyampaikan kisah al-’Urayinin, menyatakan, “Qatlu al-ghilah mengharuskan pembunuhan pelaku dilakukan secara had (hukuman), sehingga hukuman baginya tidak gugur dengan adanya pengampunan dan tidak dilihat kembali kesetaraan (mukafah). Inilah mazhab ahli Madinah dan salah satu dari dua pendapat dalam Mazhab Ahmad, serta yang dirajihkan asy-Syaikh (Ibnu Taimiyah, pen) dan beliaurahimahullah berfatwa dengan pendapat ini.” [8]

Hikmah Pensyariatan Qisas Allah al-Hakim menetapkan satu ketetapan syariat dengan hikmah yang agung. Hikmah-hikmah tersebut ada yang diketahui manusia dan ada yang hanya menjadi rahasia Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian juga, dalam qisas terdapat banyak hikmah, di antaranya: 
1. Menjaga masyarakat dari kejahatan dan menahan setiap orang yang akan menumpahkan darah orang lain. Yang demikian itu disebutkan oleh

Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya, 

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “
Dan dalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Qs. al-Baqarah: 179). 

2. Mewujudkan keadilan dan menolong orang yang terzalimi, dengan memberikan kemudahan bagi wali korban untuk membalas kepada pelaku seperti yang dilakukan kepada korban. Karena itulah, Allah berfirman, 

وَمَن قُتِلَ مَظْلُوماً فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَاناً فَلاَ يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُوراً 
“Dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (Qs. al-Isra`: 33). 

3. Menjadi sarana taubat dan penyucian dari dosa yang telah dilanggarnya, karena qisas menjadi kafarah (penghapus dosa) bagi pelakunya. Hal ini dijelaskan Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, 

تُبَايِعُونِي عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا تَسْرِقُوا وَلَا تَزْنُوا قَرَأَ عَلَيْهِمْ الْآيَةَ فَمَنْ وَفَّى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ عَلَيْهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَسَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ 

“‘Berbai’atlah kepadaku untuk tidak berbuat syirik, tidak mencuri, dan tidak berzina.’ Beliau membacakan kepada mereka ayat, (lalu bersabda), ‘Barangsiapa di antara kalian yang menunaikannya maka pahalanya ada pada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan barangsiapa yang melanggar sebagiannya lalu di hukum maka hukuman itu sebagai penghapus dosa baginya. (Adapun) barangsiapa yang melanggarnya lalu Allah tutupi maka urusannya diserahkan kepada Allah, bila Dia kehendaki maka Dia mengazabnya dan bila Dia menghendaki maka Dia mengampuninya.” (Muttafaqun ‘alaihi). Syarat Kewajiban Qisas Secara umum, wali (keluarga) korban berhak menuntut qisas, apabila telah syarat-syarat berikut ini telah terpenuhi: 
1. Jinayat (kejahatan)-nya termasuk yang disengaja. Ini merupakan ijma’ para ulama, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, “Para ulama ber-ijma’ bahwa qisas tidak wajib, kecuali pada pembunuhan yang disengaja, dan kami tidak mengetahui adanya silang pendapat di antara mereka dalam kewajibannya (sebagai hukuman pada) pembunuhan dengan sengaja, apabila terpenuhi syarat-syaratnya.” 

[9] 2. Korban termasuk orang yang terlindungi darahnya (‘ishmat al-maqtul) dan bukan orang yang dihalalkan darahnya, seperti orang kafir harbi dan pezina yang telah menikah. Hal ini karena qisas disyariatkan untuk menjaga dan melindungi jiwa. 3. Pembunuh atau pelaku kejahatan adalah seseorang yang mukalaf, yaitu berakal dan baligh. Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan, “Tidak ada silang pendapat di antara para ulama bahwa tidak ada qisas terhadap anak kecil dan orang gila. Demikian juga orang yang hilang akal dengan sebab uzur, seperti tidur dan pingsan.” 
[10] 4. At-takafu’ (kesetaraan) antara korban dan pembunuhnya ketika terjadi tindak kejahatan dalam sisi agama, merdeka, dan budak. Sehingga, seorang muslim tidak di-qisas dengan sebab membunuh orang kafir, dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 

لاَ يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ 
“Tidaklah seorang muslim dibunuh (di-qisas) dengan sebab membunuh orang kafir.” 

[11] 5. Tidak ada hubungan keturunan (melahirkan), dengan ketentuan korban yang dibunuh adalah anak pembunuh atau cucunya, dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 

لاَ يُقْتَلُ الوَالِدُ بِوَلَدِهِ 
“Orangtua tidak di-qisas dengan sebab (membunuh) anaknya.” 

[12] Syekh as-Sa’di rahimahullah ketika menjelaskan syarat diwajibkannya qisas menyatakan, “Pembunuh bukan orangtua korban, karena orangtua tidak dibunuh dengan sebab membunuh anaknya.” 
[13] Sedangkan bila anak membunuh orangtuanya, maka si anak tetap terkena keumuman kewajiban qisas. Syarat Pelaksanaan Qisas Apabila syarat-syarat kewajiban qisas terpenuhi seluruhnya, maka syarat-syarat pelaksanaannya masih perlu dipenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah: 
1. Semua wali (keluarga) korban yang berhak menuntut qisas adalah mukalaf. Apabila yang berhak menuntut qisas atau sebagiannya adalah anak kecil atau gila, maka hak penuntutan qisas tidak bisa diwakilkan oleh walinya, sebab pada qisas terdapat tujuan memuaskan (keluarga korban) dan pembalasan. Dengan demikian, pelaksanaan qisas wajib ditangguhkan, dengan memenjarakan pelaku pembunuhan hingga anak kecil tersebut menjadi baligh atau orang gila tersebut sadar. Hal ini dilakukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang memenjarakan Hudbah bin Khasyram dalam qisas, hingga anak korban menjadi baligh. Hal in dilakukan di zaman para sahabat dan tidak ada yang mengingkarinya, sehingga seakan-akan menjadi ijma’ di masa beliau. Apabila anak kecil atau orang gila membutuhkan nafkah dari para walinya, maka wali orang gila saja yang boleh memberi pengampunan qisas dengan meminta diyaat, karena orang gila tidak jelas kapan sembuhnya, berbeda dengan anak kecil. 
[14] 2. Kesepakatan para wali korban terbunuh dan yang terlibat dalam qisas dalam pelaksanaannya. Apabila sebagian mereka -walaupun hanya seorang- memaafkan si pembunuh dari qisas, maka gugurlah qisas tersebut. 
[15] 3. Aman dalam pelaksanaannya dari melampaui batas kepada selain pelaku pembunuhan, dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, 

وَمَن قُتِلَ مَظْلُوماً فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَاناً فَلاَ يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُوراً 

“Dan barangsiapa yang dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (Qs. al-Isra`: 33). 

Apabila qisas menyebabkan sikap melampaui batas, maka hal tersebut terlarang, sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas. Dengan demikian, apabila wanita hamil akan di-qisas, maka ia tidaklah di-qisas hingga ia melahirkan anaknya, karena membunuh wanita tersebut dalam keadaan hamil akan menyebabkan kematian janinnya. Padahal janin tersebut belum berdosa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, 

وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى 
“Dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.” (Qs. al-An’am: 164). 

Siapakah Yang Berhak Melakukan Qisas? Yang berhak melakukannya adalah yang memiliki hak, yaitu para wali korban, dengan syarat mampu melakukan qisas dengan baik sesuai syariat. Apabila tidak mampu, maka diserahkan kepada pemerintah atau wakilnya. Hal ini tentunya dengan pengawasan dan naungan pemerintah atau wakilnya, agar dapat mencegah sikap melampai batas dalam pelaksanaannya, serta untuk memaksa pelaksana menunaikannya sesuai syariat. 


Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. Artikel EkonomiSyariat.com 
Referensi: 
1. Imam Ibnu Qudamah, al-Mughni, tahqiq Abdullah bin Abdil Muhsin at-Turki, cetakan kedua, tahun 1413 H, penerbit Hajar. 
2. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, al-Mulakhash al-Fiqh, cetakan kedua, tahun 1426 H, Jam’iyah Ihya` at-Turats al-Islami. 
3. Muhammad bin Shalih Ibnu Utsaimin, asy-Syarhu al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, cetakan pertama, tahun 1428 H, Dar Ibnu al-Jauzi, KSA, 14/5. 
4. Muhammad Nashirudin al-Albani, Irwa’ al-Ghaalil, al-Maktab al-Islami. 
5. Lain-lain. 

Catatan kaki: 
[1] Fathu al-Qadir: 1/179, dinukil dari al-Mulakhash al-Fiqh: 2/471. [2] Al-Mulakhash al-Fiqh: 2/475. [3] Asy-Syarhu al-Mumti’: 14/34. [4] Al-Mulakhash al-Fiqh: 2/476. [5] HR. at-Tirmidzi, no. 1409. [6] Lihat: al-Mulakhash al-Fiqh: 2/473 dan asy-Syarhu al-Mumti’: 14/34. [7] Al-Mulakhash al-Fiqh: 2/473. [8] Lihat: Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’: 7/207. [9] al-Mughni: 11/457. [10] al-Mughni: 11/481. [11] HR. al-Bukhari, no. 111. [12] HR. Ibnu Majah no. 2661 dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. 2214. [13] Minhaj as-Salikin, hal. 237. [14] Lihat: al-Mulakhash al-Fiqh: 2/476. [15] Lihat: asy-Syarhu al-Mumti’: 14/38. [16] Lihat: asy-Syarhu al-Mumti’: 14/54 dan al-Mulakhash al-Fiqh: 2/478.


forpimekkah.blogspot.com