Menu

MENU

Penjelasan Hukumnya Merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW



Sabtu (3/1/2015) diperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Di Indonesia, memang diperingati tiap tanggal 12 Rabiul Awal (penanggalan Hijriah). Bagi sebagian umat Islam (Muslim) di Indonesia, peringatan Maulid atau hari lahirnya Nabi Muhammad SAW saja tak cukup. Guna melengkapinya, dilakukan perayaan meriah, seperti merayakan ulang tahun umatnya. Perayaan Maulid pun sudah menjadi tradisi.
Nah, terkait dengan perayaan itu, ada dua pendapat. Ada yang menyatakan boleh dan ada pula menyatakan bid'ah (perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah ditetapkan, termasuk menambah atau mengurangi ketetapan). Pihak yang menyatakan boleh beralasan bahwa perayaan Maulid sebagai ekspresi kegembiraan atas kelahiran dan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Pihak yang menyatakan bid'ah beralasan perayaan itu tak memiliki landasan kuat dan tergolong perbuatan baru. Nabi pun tak pernah merayakan ulang tahunnya.
Direktur Pusat Studi Quran, Prof Muhammad Quraish Shihab menjelaskan hukum merayakan Maulid (merayakan ulang tahun Nabi Muhammad SAW) dan tahlil. Mantan Menteri Agama ini juga menjelaskan secara detil tentang bid'ah.
Penjelasan ini disampaikan melalui majalah Alhamudlillah it's Friday atau Alif Magz dan dikutip tribun-timur.comMajalah itu merupakan media internal Pusat Studi Quran.
Bid‘ah dari segi bahasa adalah sesuatu yang baru, belum ada yang sama sebelumnya. Tentu saja, dalam kehidupan ini banyak hal baru yang bukan saja bersifat material, melainkan juga immaterial dan bukan saja dalam adat kebiasaan, tetapi juga dalam praktik-praktik yang berkaitan dengan agama. Hal yang baru itu boleh jadi baik dan boleh jadi juga buruk. Jika demikian, pastilah ada bid‘ah yang baik dan buruk. Agama ada yang berkaitan dengan ibadah murni (mahdhah) dan ada juga yang bukan ibadah murni (ghair mahdhah). Bid‘ah dalam hal-hal yang bukan ibadah murni dapat dibenarkan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama. Katakanlah penggunaan telepon dan teleks untuk menggantikan pertemuan langsung dan ucapan dalam ijab dan kabul pada transaksi perdagangan bahkan pernikahan.
Di sisi lain, banyak ulama yang menganalisis sebab-sebab Rasul saw. tidak mengerjakan sesuatu. Ada yang tidak beliau kerjakan karena sejak semula itu terlarang dan ada juga yang tidak beliau kerjakan karena ketika itu belum ada alasan atau dorongan mengerjakannya. Nah, bila kemudian ada alasan yang mendorong dan dapat dibenarkan, bid‘ah dalam hal ini dapat dibenarkan, seperti menulis dan membukukan al-Qur’an dalam satu mushaf pada masa Abû Bakar ra. Kita semua tahu bahwa pada masa Rasul saw., al-Qur’an belum dibukukan bukan saja karena ayat-ayat masih silih berganti turun selama hidup Rasul saw., melainkan juga karena kebutuhan untuk membukukannya belum dirasakan. Ini berbeda setelah beliau wafat. Ada lagi yang tidak dikerjakan Rasul saw. karena ketika itu ada dorongan atau sebab untuk tidak mengerjakan.
Shalat Tarawih berjamaah pada mulanya beliau lakukan di masjid dengan delapan rakaat dan banyak sahabat mengikutinya. Dari malam ke malam semakin banyak. Ketika itu, beliau khawatir jangan sampai ada yang menduga shalat itu wajib, maka beliau hentikan dan shalat di rumah sendirian. Ketika beliau wafat dan kekhawatiran telah sirna, Sayyidina ‘Umar menganjurkan shalat Tarawih dilaksanakan di masjid dan berjamaah dengan dua puluh rakaat plus witir. Sayyidina ‘Utsmân ra. juga melakukan apa yang tidak dilakukan Rasul saw. Ketika kota Madinah telah melebar dan penduduknya bertambah, pada hari Jumat, beliau azan dua kali padahal pada masa Nabi saw. hanya sekali.
Demikianlah bid‘ah—dalam ibadah pun—tidak semuanya terlarang jika dasar pokoknya ada. Memang, pada dasarnya, dalam hal ibadah murni, segalanya tidak boleh kecuali apa yang dikerjakan Rasul saw., sedangkan dalam soal muamalat, segalanya boleh kecuali yang dilarang. Akan tetapi, ulama pun menegaskan bahwa apa yang ditinggalkan Rasul saw. hendaknya dikaji mengapa ketika Nabi saw. hidup, beliau tidak mengerjakannya. Kalau memang suatu ibadah atau pekerjaan ada alasan untuk mengerjakannya dan diketahui bahwa Rasul saw. tidak mengerjakannya, karena enggan, kemudian ada sesudah beliau yang mengada-ada, itulah bid‘ah yang sesat. Itulah yang tidak diterima Allah swt. dan itu yang dimaksud dengan setiap bid‘ah dhalâlah (sesat) dan semua dhalâlah di neraka. Dalam konteks ini, ulama berbeda pendapat tentang tahlil, maulid, dan sebagainya.