Menu

MENU

GLORY OF ISLAM

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
“ Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang 

PERANG TERAKHIR RASULULLAH - ROMAWI PUN BERGETAR
Perang Tabuk merupakan perang yang sangat terkenal karena banyak hikmah yang dapat diambil dari perang ini dan yang paling penting, perang ini merupakan perang terakhir Rasulullah.

Peperangan ini terjadi setelah sampai berita kepada Rasulullah bahwa Raja Romawi akan menyerang Madinah dengan bala tentara yang besar melalui Syam. Setelah melalui persiapan yang direncanakan dengan baik, pada hari Kamis tanggal 5 Bulan Rajab tahun 9 Hijriyah, Rasulullah dan pasukan muslimin berangkat ke Tabuk dari Madinah untuk melawan berita penyerangan ini.

Setelah penaklukan Makkah, tidak ada tempat di seluruh Jazirah Arab yang menyangsikan risalah Rasulullah dan ajaran Islam. Tapi masih ada satu kekuatan yang menghadang perjalanan orang-orang Muslim, yaitu kekuatan Romawi. Bentrok sering tak bisa dihindari, dimulai dibunuhnya duta Rasulullah, Al-Harits bin Umair di tangan Syurahbil bin Amr Al-Gahssany saat membawa surat ke pemimpin Bushra.

Kemudian pertempuran seru di Mu’tah antara pasukan Muslim yang dipimpin Zaid bin Haritsah  melawan pasukan Romawi pasca pembunuhan itu. Belum genap setahun setelah perang di Mu’tah, pasukan Romawi siap terjun untuk kancah peperangan besar-besaran. Pasukan Romawi menilai keberadaan pasukan Rasulullah di muka bumi mengancam keberadaan mereka.

Banyak Informasi yang masuk Madinah tentang persiapan besar-besaran pasukan Romawi, sehingga setiap detik penduduk Madinah seperti dibayangi hal tersebut, tak terkecuali Umar bin Khattab. Kabar bahwa Rasulullah menjauhi istri-istri beliau menambah daftar persiapan yang lain dari biasanya.

Kesempatan ini dimanfaatkan kaum munafik untuk membangun masjid Dhirar untuk mengecoh kaum Muslimin. Kaum Munafik mendirikan masjid untuk tempat penampungan yang aman bagi orang munafik dan teman mereka dari luar. Tapi atas ijin Allah, mereka pun gagal dan Allah menyibak niat jahat mereka. Rasulullah menghancurkan masjid tersebut pasca kepulangan dari Perang Tabuk.

***
Persiapan Kaum Muslimin : Tak Pedulikan Panen, Tangisan Ketakwaan, dan Berlomba Bersedekah

Letak Madinah dan Tabuk sangat jauh dan musim saat itu sangat panas. Pada saat itu, kebun-kebun kurma di Madinah sedang masa panen, dan sebagian besar penduduk Madinah bergantung pada kebun kurma yang merupakan jalan rezeki mereka selama 1 tahun.

Ketakwaan mereka terhadap seruan Rasulullah dan ketaqwaan terhadap Allah, membuat mereka siap meninggalkan kebun siap panen tersebut tanpa ada yang memelihara. Semua orang siap meninggalkan kota Madinah. Yang tinggal hanyalah kaum munafik, orang-orang udzur, wanita, anak-anak dan sebagian sahabat yang tak mendapat tunggangan padahal mereka sangat ingin berangkat perang, serta tiga sahabat Rasulullah (akan diceritakan kemudian).

“Mereka Kembali, sedangkan mata mereka bercucuran air mata karena sedih tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan.”     
(At Taubah : 92)

Dalam persiapan ini sahabat-sahabat Rasulullah berlomba-lomba bersedekah, Utsman bin Affan mempersiapkan kafilah dagang ke Syam sebanyak 200 ekor unta lengkap dengan barang bawaan dan 200 uqiyah, kemudian ditambah lagi 100 ekor unta dan 1.000 dinar di bilik  Rasulullah, kemudian bersedekah lagi 900 ekor unta dan 100 ekor kuda, dan tambahan uang kontan. Abdurrahman bin Auf bersedekah 200 uqiyah perak, Abu Bakar menyerahkan semua hartanya selinai sekitar 4.000 dirham, Ashim bin Ady menyerahkan 70 wasaq kurma, dan masih banyak lagi sahabat yang lain, termasuk para wanita menyerahkan berbagai macam perhiasan mereka.

***
Perjalanan ke Tabuk dan Akhir Perang : Jaisyul Usrah (Pasukan yang dalam keadaan sulit)

Jasiyul Usrah, begitulah julukan pasukan Muslimin dalam perang Tabuk ini. Meskipun cukup banyak harta yang disedekahkan untuk perang, karena jumlah pasukan yang sangat besar, yaitu 30.000 prajurit, tentu perbekalan pasukan ini tidak bisa sempurna. 18 orang hanya mendapat jatah 1 unta, memakan dedaunan sekedar untuk membasahi bibir, dan terpaksa menyembelih unta sekalipun jumlahnya sedikit, untuk diambil air di tubuhnya dan dimakan dagingnya.

Ketika tiba di Tabuk, pasukan Muslimin berkubu di sana. Mereka siap melawan musuh dan Rasulullah berdiri di hadapan pasukan dan menyampaikan pidato yang penuh semangat. Mental prajurit benar-benar siap dan dengan semangat yang membara. Pasukan Romawi mendengar kedatangan kaum Muslimin dan malah muncul ketakutan dan kekhawatiran di hati mereka, sehingga mereka tidak berani maju langsung dan berpencar-pencar di batas wilayah.

Hal ini mengangkat pamor pasukan Muslimin di Jazirah Arab. Yuhannah bin Ru’bah, pimpinan Ailah kemudian mendatangi Rasulullah dan menawarkan perjanjian perdamaian dengan beliau dan siap menyerahkan jizyah. Begitu pula penduduk Jarba’ dan Adruj. Ukadir Dumatul Jadal berhasil dipegang Khalid bin Walid dan menjamin keamanan dirinya dengan tebusan tertentu. Bersama Yuhannah, dia menyetujui perjanjian yang berlaku bagi penduduk Dumah, Tabuk, Ailah dan Taima’.

Berbagai kabilah yang dulunya tunduk pada Romawi berbalik mendukung kaum Muslimin. Wilayah kekuasaan pemerintah Islam semakin bertambah luas, hingga berbatasan dengan wilayah kekuasaan bangsa Romawi. Rasulullah sampai di Madinah pada bulan Ramadhan tahun itu juga. Sehingga total dua bulan Rasulullah meninggalkan Madinah.

Perpaduan kekuatan iman, persiapan matang, kesatuan hati, dan yang paling utama adalah keikhlasan berjihad di jalan Allah. Sekuat apapun pasukan yang melawan, jangan pernah berharap menang. Romawi pun gemetar.      (KabarDuniaIslam/fmdn)




Sang Pengembara Dunia yang Belum Tertandingi

IBNU Batutah adalah tokoh muslim asal Maroko yang lahir tahun 1304 M dan suka melakukan pengembaraan ke berbagai penjuru dunia. Dianggap sebagai pelopor penjelajah abad 14 yang belum tertandingi. Sekalipun ada Marcopolo yang juga melakukan penjelajahan dunia, namun masih tidak sebanding dengan Ibnu Batutah terutama dalam kuantitas perjalanan. Karenanya dijuluki dengan sebutan pengembara muslim. Ibnu Batutah memilik hobi mengunjungi negara di dunia untuk saling takruf (mengenal) manusia dengan berbagai latar belakang dan budaya.
Atas dorongan Sultan Maroko, Ibnu Batutah mendiktekan beberapa perjalanan pentingnya kepada seorang sarjana bernama Ibnu Juzay, yang ditemuinya ketika sedang berada di Iberia. Meskipun mengandung beberapa kisah fiksi, Rihlah merupakan catatan perjalanan dunia terlengkap yang berasal dari abad ke-14. Hampir semua yang diketahui tentang kehidupan Ibnu Batutah datang dari dirinya sendiri. Meskipun dia mengklaim bahwa hal-hal yang diceritakannya adalah apa yang dia lihat atau dia alami, kita tak bisa tahu kebenaran dari cerita tersebut.
Lahir di Tangier, Maroko antara tahun 1304 dan 1307, pada usia sekitar dua puluh tahun Ibnu Batutah berangkat haji — ziarah ke Mekah. Setelah selesai, dia melanjutkan perjalanannya hingga melintasi 120.000 kilometer sepanjang dunia Muslim (sekitar 44 negara modern).
Perjalanannya ke Mekah melalui jalur darat, menyusuri pantai Afrika Utara hingga tiba di Kairo. Pada titik ini ia masih berada dalam wilayah Mamluk, yang relatif aman. Jalur yang umum digunakan menuju Mekah ada tiga, dan Ibnu Batutah memilih jalur yang paling jarang ditempuh pengembaraan menuju sungai Nil, dilanjutkan ke arah timur melalui jalur darat menuju dermaga Laut Merah di ‘Aydhad. Tetapi, ketika mendekati kota tersebut, ia dipaksa untuk kembali dengan alasan pertikaian lokal.
Kembail ke Kairo, ia menggunakan jalur kedua, ke Damaskus (yang selanjutnya dikuasai Mamluk), dengan alasan keterangan/ anjuran seseorang yang ditemuinya di perjalanan pertama, bahwa ia hanya akan sampai di Mekah jika telah melalui Suriah. Keuntungan lain ketika memakai jalur pinggiran adalah ditemuinya tempat-tempat suci sepanjang jalur tersebut seperti Hebron, Yerusalem, dan Betlehem. Serta penguasa Mamluk memberikan perhatian khusus untuk mengamankan para peziarah.
Setelah menjalani Ramadhan di Damaskus, Ibnu Batutah bergabung dengan suatu rombongan yang menempuh jarak 800 mil dari Damaskus ke Madinah, tempat dimakamkannya Muhammad. Empat hari kemudian, dia melanjutkan perjalanannya ke Mekah. Setelah melaksanakan rangkaian ritual haji, sebagai hasil renungannya, dia kemudian memutuskan untuk melanjutkan mengembara. Tujuan selanjutnya adalah Il-Khanate (sekarang Iraq dan Iran).
Dengan cara bergabung dengan suatu rombongan, dia melintasi perbatasan menuju Mesopotamia dan mengunjungi najaf, tempat dimakamkannya khalifah keempat yakni Ali bin Abu Thalib. Dari sana, dia melanjutkan ke Basrah, lalu Isfahan, yang hanya beberapa dekade jaraknya dengan penghancuran oleh Timur. Kemudian Shiraz dan Baghdad (Baghdad belum lama diserang habis-habisan oleh Hulagu Khan).
Di sana ia bertemu Abu Sa’id, pemimpin terakhir Il-Khanate. Ibnu Batutah untuk sementara mengembara bersama rombongan penguasa, kemudian berbelok ke utara menuju Tabriz di Jalur Sutra. Kota ini merupakan gerbang menuju Mongol, yang merupakan pusat perdagangan penting.
Setelah perjalanan ini, Ibnu Batutah kembali ke Mekah untuk haji kedua, dan tinggal selama setahun sebelum kemudian menjalani pengembaraan kedua melalui Laut Merah dan pantai Afrika Timur. Persinggahan pertamanya adalah Aden, dengan tujuan untuk berniaga menuju Semenanjung Arab dari sekitar Samudera Indonesia. Akan tetapi, sebelum itu, ia memutuskan untuk melakukan petualangan terakhir dan mempersiapkan suatu perjalanan sepanjang pantai Afrika.
Menghabiskan sekitar seminggu di setiap daerah tujuannya, Ibnu Batutah berkunjung ke Ethiopia, Mogadishu, Mombasa, Zanzibar, Kilwa, dan beberapa daerah lainnya. Mengikuti perubahan arah angin, dia bersama kapal yang ditumpanginya kembali ke Arab selatan. Setelah menyelesaikan petualangannya, sebelum menetap, ia berkunjung ke Oman dan Selat Hormuz. Setelah selesai, ia berziarah ke Mekah lagi. Setelah setahun di sana, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di kesultanan Delhi. Untuk keperluan bahasa, dia mencari penterjemah di Anatolia. Kemudian di bawah kendali Turki Saljuk, ia bergabung dengan sebuah rombongan menuju India. Pelayaran laut dari Damaskus mendaratkannya di Alanya di pantai selatan Turki sekarang. Dari sini ia berkelana ke Konya dan Sinope di pantai Laut Hitam.
Setelah menyeberangi Laut Hitam, ia tiba di Kaffa, di Crimea, dan memasuki tanah Golden Horde. Dari sana ia membeli kereta dan bergabung dengan rombongan Ozbeg, Khan dari Golden Horde, dalam suatu perjalanan menuju Astrakhan di Sungai Volga.
Beliau mengakhiri catatan perjalanannya dengan sebuah kalimat, ”Akhirnya aku sampai juga di kota Fez (Moroko).” Di situ beliau menuliskan hasil pengembaraannya, dan meninggal dunia di Maroko pada pada tahun 1377 M. 
[rika/islampos/tqar/analis-oke-bgt]




Iskandar Zulkarnaen, Sang Raja Muslim Yang Saleh Dan Perkasa

DIALAH Raja Muslim yang sangat berkuasa namun saleh. Daerah taklukannya membentang dari bumi bagian barat sampai timur. Ia mendapat julukan Iskandar “Zulkarnain”. “Zul”, artinya “memiliki”, Qarnain, artinya “Dua Tanduk”. Maksudnya, Iskandar yang memiliki kekuasaan antara timur dan barat.
Dia juga telah membangun dinding besar berteknologi tinggi untuk ukuran saat itu, diantara dua Gunung. Para ahli sejarah meyakini, dinding tersebut terbuat dari besi yang dicampur dengan tembaga itu terletak tepat di pengunungan Kaukasus. Daerah itu kini disebut  Georgia, negara pecahan Uni Soviet.
Secara topografis, deretan pegunungan Kaukasus itu memang terlihat memanjang dari laut Hitam sampai ke laut Kaspia sepanjang 1.200 kilometer tanpa celah. Kecuali pada bagian kecil sempit yang disebut celah Darialsepanjang 100 Meter kurang lebih.
Pada bagian celah itulah Zulkarnain membangun tembok penghalang dari Ya’juj dan Ma’juj. Kisah ketokohan Iskandar Zulkarnain ini juga tertulis dalam catatan sejarah orang-orang barat. Dalam catatan tersebut diceritakan bagaimana ia berjaya meluaskan daerah taklukannya dalam masa yang sangat singkat.
Oleh karena kejayaannya ini, ia diberi gelar “Alexander The Great”, Alexander Yang Agung”. Belakangan cerita ini diadaptasi ke film layar lebar oleh Sutradara Amerika Serikat, Oliver Stone, dengan judul Alexander The Great. Namun cerita dari orang-orang barat tersebut sangat bertentangan dengan yang disebutkan dalam Al-Qur’an.
Para Mufasir menyatakan, “Alexander The Great” adalah orang yang berbeda dengan tokoh yang di tulis dalam Al-Qur’an, Yakni, Iskandar Zulkarnain. Alexander Thr Great itu dalam sejarahnya tidak diberitakan pernah membangun sebuah dinding besar berteknologi tinggi untuk ukuran saat itu, yang terbuat dari besi dicampur tembaga. Bahkan, ia adalah seorang musyrik. Sejarah tidak mencatatnya sebagai seorang Raja Muslim yang taat kepada agama Tauhid.
Sejarawan Muslim yang juga ahli tafsir, Ibnu Katsir, dalam kitabnya Al-Bidayah Wan Nihayah menjelaskan, meski punya nama yang sama dan plot cerita yang sama, yaitu kekuasaannya membentang dari Barat sampai ke Timur, keduanya adalah sosok yang berbeda. Antara mereka terbentang jarak dan waktu sampai 2000 tahun. “Hanya mereka yang tidak mengerti sejarah yang bisa terkecoh oleh identitas kedua orang itu,” katanya.
Ibnu Katsir lebih jauh menjelaskan, Zulkarnain adalah nama gelar atau julukan seorang penglima penakluk sekaligus Raja saleh. Karena kesalehannya ia selalu mengajak manusia untuk menyembah Allah. Namun mereka ingkar, malah memukul tanduknya – Qarnun,yaitu rambut kepala yang di ikat – sebelah kanan, hingga ia mati. Lalu Allah menghidupkannya kembali, dan ia pun kembali berdakwah. Tetapi sekali lagi tanduknya yang kiri dipukul, sehingga ia mati lagi. Allah Subhanahu Wa Ta`ala menghidupkannya kembali dan menjulukinya Zulkarnain, pemilik dua Tanduk, serta memberinya kekuasaan. Cerita yang sama juga di jumpai dalam kitab Jami Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, karangan Syekh Al-Aiji Asy-Syafi’i.
Dalam kitab tersebut disebutkan, Zulkarnain adalah seorang hamba yang taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta`ala dan mengajak kaumnya menyembah Allah Subhanahu Wa Ta`ala. Lalu mereka memukul tanduknya yang kanan hingga mati. Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta`ala menghidupkannya lagi, dan dia kembali mengajak kaumnya mengesakan Allah Subhanahu Wa Ta`ala. Tetapi mereka malah memukul tanduknya yang kiri hingga mati lagi. Lalu Allah menghidupkannya lagi dan menganugrahinya kekuasaan yang tak tertandingi. Oleh karena itu ia dijuluki Zulkarnain.
Di samping kedua kitab tersebut, Mufassir Muslim Ibnu Jarir Ath-Thabari juga mengisahkannya dalam kitab tafsir Ath-Thabari. Dikatakan, Iskandar Zulkarnain adalah seorang laki-laki yang berasal dari Romawi, ia anak tunggal seorang yang paling miskin diantara penduduk kota. Namun dalam pergaulan sehari-hari, ia hidup dalam lingkungan kerajaan, bergaul dengan para perwira dan berkawan dengan wanita-wanita yang baik dan berbudi serta berakhlak mulia.
Imam Al-Qurtubi dalam kitab tafsir Al-Qur’annya yang populer, Tafsir Al-Qurtubi,menceritakan, sejak masih kecil dan masa pertumbuhannya Iskandar berakhlak mulia. Melakukan hal-hal yang baik sehingga terangkat nama baiknya. Ia juga menjadi mulia di kalangan kaumnya, sehingga Allah berkenan memberinya kewibawaan.
Setelah mencapai usia akil balig, Iskandar menjadi seorang hamba yang saleh, sehingga Allah Subhanahu Wa Ta`ala Berfirman, “Wahai Zulkarnain, Sesungguhnya aku mengutusmu kepada umat-umat di bumi. Mereka adalah umat yang berbeda-beda bahasanya dan mereka adalah umat yang berada disegala penjuru bumi.
Mereka terbagi dalam beberapa golongan.” Mendapat amanat tersebut, Zulkarnain lalu berkata, “Wahai Tuhanku, Engkau telah menugasiku melakukan seuatu hal yang aku tidak kuasa melakukannya kecuali engkau  sendiri, maka beritahukan kepadaku tentang umat-umat itu, dengan kekuatan apa aku bisa melawan mereka? Dengan kesabaran apa aku bisa menahan mereka? Dan dengan bahasa apa aku harus bicara dengan mereka? Bagaimana pula aku bisa memahami bahasa mereka sedangkan aku tidak mempunyai kemampuan.”
Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta`ala berfirman”Aku membebanimu sesuatu yang kamu mampu melakukannya, aku akan melapangkan pendengaran dan dadamu hingga kamu bisa mendengar dan memperhatikan segala sesuatu. Memudahkan pemahamanmu sehingga kamu bisa memahami segala sesuatu, meudahkan lidahmu, hingga kamu bisa berbicara tentang sesuatu, membukakan penglihatanmu, sehingga kamu bisa melihat segala sesuatu, melipatgandakan kekuatanmu hingga tak terkalahkan oleh sesuatu apapun, menyingsingkan lenganmu, hingga tidak ada sesuatupun yang berani meyerangmu,  menguatkan hatimu, hingga kamu tidak takut pada apapun, menguatkan kedua tanganmu hingga kamu bisa menguasai segala sesuatu, menguatkan pijakanmu hingga kamu bisa mengatasi segala sesuatu, memberimu kemuliaan hingga tidak ada apapun yang menakutimu, menundukkan untukmu cahaya dan kegelapan dan menjadikan salah satu tentaramu. Cahaya itu akan menjadi petunjuk di depanmu, dan kegelapan itu akan berkeliling di belakangmu.” 
[islampos/Hadist Nabi Muhammad]