Menu

MENU

MEMAHAMI SUNNAH



MEMAHAMI SUNNAH


“Sungguh telah ada pada Rasulullah itu teladan yang baik bagi orang-orang yang mengharap ridha Allah dan kebahagiaan hari akhir serta dzikir kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya” 
(QS. 33: 21)

A. SUMBER SUNNAH
            Dalam rangka menjadikan Rasulullah sebagai uswah hasanah—sebagaimana diungkapkan dalam ayat di atas—setiap muslim harus memahami betul tentang sumbernya. Sunnah Nabi adalah sumber uswah hasanah. Ia dapat diketahui melalui beberapa hal, yaitu: (1) Perkataan (Qawliyah), (2) Perbuatan (Fi’liyah), (3) Persetujuan (Taqririyah), (4) Rencana (Hammiyah), dan (5) Penghindaran (Tarkiyah).

Sunnah memiliki beberapa nama antara lain: (1) Sunnah, yang berarti tradisi, contoh, kebiasaan, (2) Hadits,yang berarti perkataan, peristiwa, baru, (3) Khabar, yang berarti berita, (4) Atsar, yang berarti bekas.

Sumber sunnah yang pertama ialah qawliyah, yakni segala perkataan yang disabdakan Rasulullah SAW yang didengar oleh sahabatnya dan disebarluaskan kepada masyarakat. Dalam kitab-kitab hadits sunnahqawliyah ini ditandai dengan kata-kata seperti Qaala, yaquwlu, qawlu, sami’tu yaquwlu.
Sumber sunnah yang kedua ialah fi’liyah, yakni perbuatan Rasulullah SAW yang dilihat oleh sahabatnya dan diceritakan kepada kaum muslimin dari kalangan tabi’in, kemudian disebarluaskan kepada generasi berikutnya hingga sampai kepada para penyusun kitab hadits. Kalimat yang biasa digunakan untuk menjelaskan sunnah fi’liyah ini adalah kaana Rasulullah (adalah Rasulullah), Ra-aytu Rasulullah (saya melihat Rasulullah).
Sumber sunnah yang ketiga ialah taqririyah, yaitu perbuatan sahabat yang diketahui Rasulullah SAW dan beliau tidak melarangnya, kemudian peristiwanya diberitakan kepada kaum muslimin. Contoh sunnahtaqririyah ini adalah pelaksanaan shalat qiyamu Ramadhan.

Sumber sunnah yang keempat ialah  hammiyah, yaitu rencana Rasulullah SAW, tapi belum sempat dilaksanakan. Contohnya adalah sunnah melaksanakan shaum pada tanggal 10 Muharram.
Sumber sunnah yang kelima ialah tarkiyah, yaitu suatu perbuatan yang dimungkinkan untuk diperbuat Rasulullah SAW, dan beliau memerlukannya tapi beliau sendiri tidak melakukannya. Contohnya adalah Rasul menghindarkan diri dari menggunakan tenaga dalam (kesaktian yang bisa dipelajari) dalam peperangan, atau memanggil pasukan jin; beliau juga menghindarkan diri dari pengobatan-pengobatan supranatural, dlsb.

B. SUNNAH DITINJAU DARI BEBERAPA ASPEK
Ada sebuah pertanyaan yang mungkin muncul dalam benak kita, apakah segala perkataan, perbuatan, persetujuan, rencana, dan penghindaran itu wajib dijadikan uswah oleh kaum muslimin? Mari kita simak penjelasan berikut ini:

Sunnah ditinjau dari aspek Tasyri
Ditinjau dari aspek Tasyri, sunnah terbagi menjadi dua: (1) Sunnah Tasyri dan (2) Sunnah Ghair Tasyri.
Sunnah tasyri ialah segala perilaku Rasulullah yang berkaitan dengan hukum; sehingga menjadi syariat atau sumber nilai pokok setelah Al-Qur’an. Contoh sunnah Tasyri ialah segala perilaku yang disengaja Rasulullah SAW dalam shalat, ibadah haji, dan ibadah-ibadah yang lainnya. Jika perilaku itu tidak disengaja, maka tidak termasuk tasyri. Contoh: Jika pada suatu waktu Rasulullah bersin atau batuk dalam shalat, maka itu tidaklah termasuk syariah.
Sedangkan sunnah ghair tasyri ialah segala perilaku Rasulullah SAW yang tidak berkaitan dengan hukum atau syariah. Perilaku Rasulullah SAW tergolong kepada ghair tasyri apabila memenuhi kategori berikut ini:

1.   Perilaku itu berkaitan dengan tabiat manusiawi. Misalnya makanan yang biasa dimakan Rasulullah adalah kurma, roti, daging kambing dan daging unta. Itu semua adalah kebiasaan Rasulullah yang berkaitan dengan tabiat manusiawi, karenanya tidak menjadi sunnah tasyri.

2.   Perilaku itu terjadi tanpa ada kesengajaan, seperti bersin, batuk, berjalan, berdiri, duduk yang bukan dalam ibadah.

3.   Perilaku itu dikhususkan untuk Nabi. Contoh: shaum tanpa buka, nikah dengan wanita yang menghibbahkan diri tanpa mahar, beristri lebih dari empat.

Sunnah ditinjau dari aspek Ta’abbudi
Ditinjau dari aspek ta’abbudi (ibadah), sunnah Nabi terdiri dari dua: (1) Sunnah ta’abbudi dan (2) Sunnah ghair ta’abudi. Sunnah yang bersifat ta’abudi ialah perilaku Rasul yang bersifat ritual atau upacara ibadah. Contoh: Gerakan dan bacaan shalat, gerakan thawaf, praktek sa’i, do’a makan, do’a naik kendaraan, do’a masuk WC, do’a hubungan suami istri, mengqasar shalat sewaktu musaafir.
Sedangkan perilaku Rasul yang bersifat ghair ta’abbudi contohnya adalah frekuensi Rasul menggauli istrinya, mengganjal perut ketika lapar, melawan musuh dengan pedang, berkendaraan unta.

Sunnah ditinjau dari aspek frekuensinya
Perilaku Rasul itu ada yang dilakukan secara rutin dan ada pula yang sesekali saja, baik yang bersifat ta’abbudi maupun ghair ta’abbudi. Perilaku ta’abbudi yang rutin misalnya: shalat fardhu, shalat tahajud, shaum Ramadhan, shaum senin dan kamis. Sementara yang bersifat tidak rutin contohnya: ziarah qubur, shalat dhuha.

Sunnah ditinjau dari Amar dan Nahy
Sunnah terbagi dua, ada perintah (amar) dan ada larangan (nahy). Perintah pun terbagi dua, ada yang wajib dan ada pula yang bersifat anjuran. Perintah yang wajib misalnya perintah zakat, perintah taqwa, perintah iman, dll. Amar yang bersifat anjuran contohnya perintah qurban, perintah aqiqah, perintah sedekah.
Larangan juga terbagi dua, ada larangan keras yang menunjukkan haram dan ada yang menunjukkan larangan ringan. Nahy yang keras seperti larangan zina, larangan ghibah, lerangan khianat. Nahy ringan seperti larangan minum dan makan sambil berdiri.

Sunnah ditinjau dari aspek rinciannya
Perilaku Rasul yang termasuk sunnah itu terdiri dari yang mujmal (global) dan yang mufashal (rinci). Contoh: dalam berpakaian Rasul hanya menjelaskan aturan yang global, (1) Menutup aurat, (2) Indah, (3) Berbeda antara pakaian wanita dengan pakaian pria, (4) Tidak berlebihan. Adapun masalah yang indah itu seperti apa, modenya bagaimana, tidak berlebihan itu seperti apa, tidak dijelaskan secara rinci.

Sunnah ditinjau dari maknanya
 Ditinjau dari aspek maknanya, sunnah Nabi itu ada yang harus dicontoh tanpa penafsiran, tanpa analogi, tanpa tinjauan aqliyah; ada juga yang harus dikaji maknawinya. Sunnah yang harus dicontoh secara harfiyah tanpa takwil, memiliki syarat antara lain: (1) Termasuk sunnah tasyri, (2) Bersifat ta’abbudi, dan (3) Dijelaskan secara rinci.
Contoh: Dalam ibadah shalat terdapat hal-hal yang harus diikuti secara harfiyah misalnya adalah bagaimana Rasul melaksanakan shalat. Sedangkan mode pakaian dan tempat shalat, tidak mesti dicontoh secara langsung, melainkan maknanya saja.

Sunnah ditinjau dari ketetapan atau tidaknya
 Sunnah Rasulullah ada yang dilakukan secara tetap tanpa ada pilihan lain, dan ada pula yang memberikan alternatif untuk dipilih. Contoh: Dalam membagi waris tidak ada pilihan kecuali bagian laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Hal semacam ini harus dilakukan dalam keadaan bagaimana pun, kapan pun, dan di mana pun. Kebiasaan dan adat tidak bisa mempengaruhi atau mengubahnya. Beda halnya dengan praktek pernikahan, Rasul tidak menetapkan ketentuan baku bagaimana proses pernikahan harus dimulai; boleh diawali lamaran dari pihak wanita, ada yang melalui lamaran calon mertua, ada yang diawali dari pihak laki-laki, dll.
C. PENDEKATAN MEMAHAMI SUNNAH YANG TAMPAK KONTRADIKSI
Kadang-kadang kita menemukan beberapa hadits yang nampaknya kontradiksi antara yang satu dengan yang lainnya. Sebetulnya bila dikaji lebih mendalam, yang nampak kontradiksi itu belum tentu benar-benar berlawanan. Oleh karena itu perlu ditempuh beberapa pendekatan.

Pendekatan Kompromi
Pendekatan kompromi (thariqatul jam’iy) ialah suatu pendekatan dalam mencari kesimpulan hukum dari dua atau beberapa sunnah yang terlihat secara lahiriah bertentangan, dengan cara mengkom-promikannya hingga tidak berlawanan.
Contoh: Dalam hadits riwayat empat ahli hadits disebutkan bahwa jika air melebihi dua kullah, tidak mungkin menjadi najis. Sedangkan dalam hadits yang diriwayatkan Abu daud, Tirmizi, dan Nasa’iy disebutkan bahwa air dapat menjadi najis oleh sesuatu yang bisa merubah rasa, atau bau, atau warnanya. Dalam hadits yang pertama tidak terdapat pengecualian, sedangkan hadits yang kedua menyatakan bahwa air yang berubah warna, bau atau rasa, tetap menjadi najis, apakah lebih dari dua kullah ataukah kurang. Jika dikompromikan, maka dapat disimpulkan  sebagai berikut: Air yang melebihi dua kullah tidak menjadi najis walau terkena najis, kecuali jika berubah warna, rasa, atau baunya. Dengan demikian kedua hadits tersebut tetap berlaku dan dijadikan dasar.

Pendekatan Nasikh wal Mansukh (yang menghapus dan yang dihapus)
Pendekatan ini berfungsi memilih hadits yang paling akhir di antara hadits yang isinya berlawanan satu sama lain. Untuk mengetahuinya tentu saja harus mempelajari tawarihul mutun atau sejarah disampaikannya hadits.
Suatu hadits itu nasikh dan mansukh diketahui dengan cara; ada penjelasan dari Rasul secara langsung, ada yang dijelaskan sahabat, ada yang ditemukan karena sejarah datangnya hadits, ada pula karena terdapat kata yang menunjukkan sebagai nasikh hadits yang sebelumnya.

1.   Hadits yang menjadi nasikh karena penjelasan dari Rasul
Contohnya hadits riwayat Muslim yang membolehkan berziarah kubur dan membolehkan menyimpan daging qurban melebihi tiga hari. Hadits tersebut merupakan nasikh dari hadit riwayat Muslim yang lain yang menyebutkan larangan menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari.

2.   Hadits yang berlawanan dan terjadi nasikh mansukh karena ada penjelasan para sahabat
Contohnya: Ada hadits yang menyebutkan bahwa tidak wajib mandi kecuali keluar air mani. Sementara ada hadits lain yang menyebutkan bahwa wajib mandi karena jima’ walaupun tidak keluar mani. Hadits ini diperjelas oleh kata-kata sahabat yang menyebutkan bahwa tidak ada kewajiban mandi bagi yang jima’ tanpa keluar mani itu hanya merupakan rukhshah pada masa awal Islam, sedangkan masa berikutnya Nabi memerintahkan sahabat untuk mandi.
3.   Hadits yang berlawanan dan terjadi nasikh mansukh karena ditemukan yang mutakhir melalui sejarah
Contoh: Hadits riwayat Abu Daud menyebutkan bahwa membekam dan dibekam itu membatalkan shaum. Sedangkan dalam hadits lain riwayat Ibnu Abbas disebutkan bahwa Rasulullah pernah berbekam dalam keadaan shaum. Setelah diteliti melalui sejarah hadits, ternyata hadits yang pertama disabdakan Rasul pada tahun 8 Hijriyah dan hadits yang kedua terjadi pada 10 Hijriyah. Maka yang berlaku adalah hadits yang kedua.

Pendekatan Tarjih
Pendekatan yang digunakan dalam metode ini adalah dengan cara memilih mana hadits yang lebih kuat. Contoh: Dalam hadits riwayat Baihaqi diterangkan bahwa Rasulullah SAW membaca qunut di waktu shalat shubuh hingga beliau wafat.
Sedangkan menurut riwayat Abi Malik Al-Asyjaiy yang diriwayatkan Ibn Majah dan Nasa’i, Ahmad dan dishahihkan Tirmizi, Rasulullah SAW membaca qunut ketika rakaat terakhir itu di setiap shalat selama satu bulan. Kemudian turun QS. 3: 128, berikutnya Rasulullah tidak membaca qunut sama sekali, baik ketika shalat shubuh maupun shalat lainnya.
 Setelah diselidiki ternyata dalam hadits Baihaqi di atas ditemukan pembawa riwayat yang bernama Sa’id Al-Maqbari yang dianggap matruk (ditinggalkan ahli hadits) oleh Daruquthni. Maka dengan pendekatan tarjih hadits yang dijadikan dasar adalah hadits yang menerangkan bahwa qunut itu bukan shubuh saja, melainkan tiap waktu tatkala dalam keadaan darurat. 

Wallahu a’lam.   

SHARE !

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)

(sumber: harakatuna.wordpress.com )