Menu

MENU

TUNTUNAN BERIBADAH BAGI WANITA MUSLIM


Apakah Sah Wudhu Perempuan Yang Menghias Kuku Dengan Kutek?

CAT kuku atau yang biasa dikenal dengan sebutan ‘kutek’ atau pewarna kuku adalah sejenis cat yang dibuat khusus untuk menghias atau memperindah kuku. Meskipun begitu, tetap saja cat ini seperti cat yang menempel di tembok. Keras dan sulit terlepas dari kuku, tidak bisa hilang cukup dengan air biasa.
Apa yang disebut pewarna kuku tentu saja sesuatu yang diletakkan diatas kuku yang digunakan oleh wanita dan memiliki lapisan permukaan. Benda ini tidak boleh digunakan jika ia akan mengerjakan shalat karena benda ini akan menghambat sampainya air ke kuku. Dan segala sesuatu yang menghambat sampainya air tidak boleh digunakan oleh orang yang berwudhu atau mandi wajib.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya: 
“ Maka basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian.”   (QS. Al-Maidah: 6)

Maka wanita yang menggunakan pewarna kuku akan menghalangi sampainya air ke kuku. Dan ia tidak dapat dikatakan telah membasuh tangannya (dalam keadaan seperti ini), ini berarti ia telah meninggalkan suatu kewajiban dalam berwudhu atau mandi wajib.
Adapun penggunaannya bagi wanita yang tidak mengerjakan shalat seperti wanita haidh maka tidaklah mengapa, kecuali apabila hal ini termasuk dalam kebiasaan-kebiasaan khusus wanita kafir maka ia tidak boleh menggunakannya karena itu berarti menyerupai mereka.
Dan saya telah mendengarkan sebagian orang berfatwa bahwa perbuatan ini sejenis dengan menggunakan khuf (sejenis kaos kaki yang terbuat dari kulit). Disebutkan bahwa boleh saja seorang wanita menggunakan pewarna kuku selama sehari semalam jika ia tidak bepergian dan selama tiga hari jika dalam perjalanan.
Namun, fatwa ini adalah fatwa yang salah, karena tidak semua yang menutupi anggota tubuh seseorang dapat disamakan dengan khuf. Karena mengusap khuf dibolehkan oleh syariah disebabkan hal itu memang benar-benar diperlukan secara umum, karena kaki membutuhkan perlindungan dan penutup. Sebab ia langsung bersentuhan dengan tanah, batu, hawa dingin dan sebagainya. Karena syariah mengkhususkan bolehnya mengusap diatas khuf.
Barangkali mereka juga mengkiaskannya dengan membasuh surban. Dan, ini adalah dalil yang salah karena surban itu tempatnya di kepala, sementara kewajiban wudhu terhadap kepala telah diringankan pada asalnya (cukup mengusap sekali-pent) berbeda dengan tangan yang harus dibasuh. Karena Rasulullah Saw melarang wanita menggunakan sarung tangan padahal keduanya menutupi kedua tangan.
Hal ini menunjukkan bahwa seseorang tidak boleh mengkiaskan jenis penutup lain yang menghalangi sampainya air terhadap surban dan khuf. Dan merupakan kewajiban bagi seorang muslim untuk selalu berusaha mengerahkan kesungguhannya mencari kebenaran, serta tidak memberikan suatu fatwa kecuali bila ia merasakan bahwa Allah Ta’ala akan menanyainya tentang fatwa tersebut. Karena hal tersebut mengungkapkan syariah Allah Ta’ala. Dan, Allah-lah pemberi petunjuk menuju jalan yang benar.
Dan yakinilah, bahwa kecantikan itu tidak hanya ditampilkan oleh fisik semata. Sebagaimana pewarna kuku itu berfungsi sebagai penghias atau yang berarti pelengkap semata. Jadi, meskipun tidak digunakan perempuan akan tetap tampil cantik. Karena kecantikan itu juga perlu dibangun dalam diri kita dengan kesempurnaan iman kepada sang Pencipta. Wallahu A’lam.

Apakah Diterima Ibadah Seorang Perempuan yang Tidak Berjilbab ?

SAUDARIKU yang dirahmati Allah Swt., berjilbab saat ini mulai digandrungi kaum hawa. Bisa jadi ada yang hanya ikut-ikutan trend atau juga yang memang memahami dan ingin melaksanakan perintah-Nya.
Berbagai jenis dan model jilbab saat ini banyak didapati, ada yang sesuai dengan syariat ada juga yang tidak. Bahkan terbilang syubhat jika dipakai, jilbab memang digunakan tapi tidak terhulur sampai ke dada serta bagian kaki malah tampak ketat dan terlihat.
Banyak kaum hawa yang menyangka bahwa tidak memakai jilbab adalah dosa kecil. Yang dapat tertutupi dengan pahala yang banyak dari shalat, puasa, zakat dan haji yang mereka lakukan. Ini adalah cara berpikir yang salah dan harus diluruskan. Kaum wanita yang tidak memakai jilbab, tidak saja telah berdosa besar kepada Allah, tetapi telah hapus seluruh pahala amal ibadahnya.
Seperti yang termaktub dalam firman Allah Swt.,
“….. Barang siapa yang mengingkari hukum-hukum syariat Islam sesudah beriman, maka hapuslah pahala amalnya bahkan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.” 
(QS. Al-Maidah: 5)
Na’udzubillah. 
Semoga kita terjauh dari adzab Allah Swt., ada sebuah kisah menggetarkan tentang seorang perempuan yang menganggap bahwa dosa meninggalkan jilbab itu adalah dosa kecil.
Saudariku, “Sesungguhnya seorang mukmin dosanya itu bagaikan bukit besar yang kuatir jatuh padanya, sedang orang kafir memandang dosanya bagaikan lalat yang hinggap diatas hidungnya.”
Sekarang kaum wanita yang tak mau berjilbab, dapat menanyakannya ke dalam hati nurani mereka masing-masing. Apakah terasa berdosa bagaikan gunung yang sewaktu-waktu jatuh menghimpitnya atau bagaikan lalat yang hinggap dihidung mereka?
Kalau kaum wanita yang tak mau memakai jilbab, menganggap enteng dosa mereka bagaikan lalat yang hinggap dihidungnya, maka tak akan bertobat didalam hidupnya. Atau dalam perkataan lain tidak ada perasaan takut kepada Allah, sebab itu mereka kekal didalam neraka. Dan mereka tak akan mendapatkan syafaat atau pertolongan Nabi Muhammad SAW. nanti di akhirat.
Sesungguhnya banyak kaum wanita yang hapus pahala shalatnya yang hidup di zaman ini dan di zaman yang akan datang. Semata-mata karena mereka tidak memakai jilbab didalam hidup mereka, telah diisyaratkan Nabi Muhammad SAW dikala hidup beliau sebagaimana bunyi hadits dibawah ini yang artinya sbb:
Ada satu masa yang paling aku takuti, dimana ummatku banyak yang mendirikan shalat, tetapi sebenarnya mereka bukan mendirikan shalat, dan neraka jahanamlah bagi mereka ”.
Dari hadits diatas, ada sepenggal kalimat “sebenarnya bukan mendirikan shalat” maksudnya ialah nilai shalat mereka tidak ada disisi Allah. Karena telah hapus pahalanya disebabkan kaum wanita mengingkari ayat tentang perintah jilbab.
Begitulah Nabi Muhammad SAW memberi peringatan kepada kita semua, bahwa banyak ummatnya dari kaum wanita yang masuk neraka biarpun mereka mendirikan shalat, tetapi tidak memakai jilbab semasa hidupnya. Apakah kita yang mengaku mencintai sesama ummat Nabi Muhammad SAW akan diam berpangku tangan membiarkan kaum wanita berada dalam dosa yang bergelimpangan? Tentu tidak. Mari saling mengingatkan.

Bolehkah Ketika Haid Membaca Al-Quran?

Yang namanya lagi haid atau menstruasi bagi perempuan itu, seperti kita tahu, kadang-kadang suka bikin repot atau malah membuat kita santai sekali. Repotnya coba kalo mau olahraga atau aktivitas lain yang menguras energi, kita diharuskan menyiapkan “bekal” yang banyak. Santainya, kita perempuan tak harus bangun shubuh-shubuh, dan pada waktu-waktu tertentu lainnya, waktu kita demikian teramat longgar.

Nah, salah satu yang menjadi banyak pertanyaan, adalah membaca Quran. Jika tengah haid bagaimana hukumnya sehubungan dengan membaca Al-Quran?
Ali bin Abi Thalib berkata: 
“Rasulullah saw membacakan Al-Quran kepada kami selagi beliau tidak dalam keadaan junub,”                          (HR Ahmad, Abu Daud, At Turmudzi, An-Nasai dan Ibn Majah). 
Lebih lanjut Ali ra berkata: “Aku melihat Rasulullah saw mengambil air wudhu seraya membaca Al-Quran, kemudian bersabda: ‘Demikian ini bagi orang yang tidak junub, adapun orang yang sedang junub maka jangan membawa dan membaca ayat (Al-Quran),’” (HR Abu Ya’la).

Atas dasar dua hadits tersebut, para ahli fiqh dalam Madzab Empat berpendapat bahwa orang junub haram membaca Al-Quran. Tetapi mereka berbeda pendapat jika yang dibaca beberapa ayat saja.

Menurut madzab Maliki, orang junub boleh membaca Al-Quran asalkan sedikit saja dengan niat membentengi diri, seperti membaca ayat Kursi, surat Al Ikhlas dan Al Mu’awidzatain. Imam Ahmad bin Hambal berpendapat, orang junub boleh-boleh saja membaca satu ayat semisalnya.
Imam Abu Hanifah membolehkan orang junub membaca sebagian dari ayat. Menurut madzab Syafi’i, boleh membaca ayat dengan niat dzikir seperti Basmallah, Hamdalah dan Istirja’ (inna illahi…) dan tidak berniat membaca Al-Quran. Pendapat dalam madzab Syafi’I ini adalah pendapat yang moderat.
Ketentuan-ketentuan hukum (termasuk vaariasinya) bagi orang junub, berlaku juga bagi orang yang berhadats besar lainnya seperti haid, nifas, jimak dan wiladah. Kedudukan hukum haid sama dengan hukum orang haid sebagaimana hadits: 

“ Orang junub dan orang haid tidak boleh membaca sesuatu dari ayat Al-Quran, ”  
(HR Ahmad, At Turmudzi dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar)

Atas dasar hadits itulah para ahli fiqh dalam Madzab empat berpendapat bahwa orang haid haram membaca Al-Quran. Demikian pula bagi orang yang nifas, wiladah dan jimak.