SEBAGAI
umat Islam, kita harus selalu berdo’a. Allah menyukai orang-orang yang dekat
dengan-Nya dengan cara berdo’a. Dengan berdo’a, itu menunjukkan bahwa kita
tidaklah sempurna. Hal itu juga sebagai bukti bahwa kita tidak mampu berbuat
apa-apa tanpa bantuan dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam
berdo’a kita harus tau tata cara yang baik. Berikut beberapa cara yang dapat
kita lakukan dalam berdo’a.
1.
Menjauhkan diri dari segala sesuatu yang diharamkan, baik tempat, makanan,
minuman, dan pakaian.
2.
Mengangkat kedua tangan sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Salmân
al-Fârisi radhiyallahu ‘anhu bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
قَالَ إِنَّ اللّهَ حَيِيٌ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي
إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا
خَائِبَتَيْنِ
“ Sesungguhnya
Allah subhanahu wa ta’ala Maha pemalu lagi Maha pemurah terhadap seorang hamba
yang mengangkat kedua tangannya (berdoa), kemudian kedua tangannya kembali
dengan kosong dan kehampaan (tidak dikabulkan).”
3.
Harus memiliki jiwa yang ikhlas.
4.
Memulakan doa dengan pujian terhadap Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian
shalawat dan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya
bertawasul kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan tawasul yang disyariatkan,
seperti dengan bertauhid kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan asma’ dan
sifat Allah subhanahu wa ta’ala, dengan amal shalih dan selainnya.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُ كُمْ فَلْيَبْدَأْ
بِتَحْمِيْدِ اللهِ وَ الثَنَاءِ ثُمَّ يُـصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ ثُمَّ يَدْعُوْ
بِمَا شَاءَ . رواه ابو داود
“Apabila
seseorang diantara kamu berdo’a, maka hendaklah ia mendahuluinya dengan
alhamdulillah dan puji-pujian lainnya, lalu bershalawat kepada Nabi dan
kemudian ia berdo’a dengan apa yang ia kehendakinya,”
(HSR. Abu Daud)
5.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Berdo’alah kepada Tuhanmu, penuh rasa
rendah diri kepada-Nya, dan dengan suara pelan/ lembut, sebab Allah tidak
senang kepada mereka yang keterlaluan,”
(QS. Al A’raf: 55)
Sebab
suara pelan menunjukkan/ membuktikan ikhlasnya hati dalam berdo’a. Dan yang
dimaksud keterlaluan, yaitu dalam berdo’a atau lainnya, Ali mengingatkan,
“Seyogyanya orang berdo’a, tidak menuntut hal-hal yang tidak patut baginya,
misalnya minta pangkat kenabian, dan naik ke langit.”
6.
Yakin bahwa Allah subhanahu wa ta’ala Maha mengabulkan doa selama tidak ada
sesuatu pun yang menghalangnya. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ادْعُوا اللَّهَ وَاَنْتُمْ مُوقِنُونَ
بِاْللإِجَاَبَةِ وَاعْلَمُواأَنَّ اللَّهَ لاَيَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ
غَافِلٍ لاَهٍ
Tata Cara Wudhu Sesuai
Tuntunan Rasulullah
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,”
(QS Al Maidah: 6)
KITA
semua tahu bahwa tidak sah shalat yang kita lakukan jika tidak berwudhu dahulu.
Wudhu merupakan suatu hal yang tiada asing bagi setiap muslim, sejak kecil ia
telah mengetahuinya bahkan telah mengamalkannya. Akan tetapi apakah wudhu yang
telah kita lakukan selama bertahun-tahun atau bahkan telah puluhan tahun itu
telah benar sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam?
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda: “Tidak diterima sholat orang yang
berhadats sampai ia berwudhu,” (HR. Bukhori no. 135, Muslim no. 225)
Dari
berbagai referensi yang insya Allah kuat, berikut adalah ringkasan bagaimana
tata cara wudhu harus dilakukan:
1.
Berniat untuk berwudhu di dalam hati dengan tidak mengucapkannya. Karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melafadzkan niatnya baik di dalam
wudhu maupun shalatnya, dan juga seluruh ibadahnya. Begitu pula karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengetahui apa yang ada di dalam hati sehingga tidak ada
perlunya untuk diberitakan lewat lisannya.
2.
Kemudian menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan membaca bismillah.
3.
Kemudian mencuci telapak tangannya tiga kali.
4.
Kemudian berkumur dan istinsyaq (yaitu memasukkan air ke hidung) tiga kali.
5.
Kemudian membasuh wajahnya tiga kali. Yaitu secara melebar dari telinga ke
telinga dan memanjang dari mulai tempat biasanya tumbuhnya rambut di kepala
bagian atas sampai ke ujung dagu/jenggot.
6.
Kemudian membasuh kedua tangannya tiga kali dari mulai ujung jari tangan sampai
ke siku, dimulai dari tangan yang kanan dan setelah itu yang kiri.
7.
Kemudian mengusap kepalanya sekali yaitu dengan membasahi kedua telapak
tangannya dan mengusapkannya dari mulai bagian depan kepala terus ke belakang
hingga batas tengkuknya dan kemudian dikembalikan ke bagian depan kepala lagi.
8.
Kemudian mengusap kedua telinganya sekali dengan memasukkan kedua telunjuknya
ke bagian dalam lubang telinga dan kedua ibu jarinya mengusap bagian luar
telinga.
9.
Kemudian membasuh kakinya tiga kali dimulai dari ujung jari kaki sampai ke
kedua mata kaki. Dimulai dari kaki yang kanan dan setelah itu kaki yang kiri.
Tata Cara Tayamum Yang Benar Sesuai Tuntunan Rasul
ISLAM
itu mudah, karena sesungguhnya Allah sama sekali tidak ingin memberatkan
hamba-Nya. Dan itulah diantara hikmah tayyamum, disaat kita tidak menemukan air
untuk bersuci atau karena kedaan yang tidak memungkinkan untuk bersentuhan
dengan air.
Tayamum
adalah untuk menyucikan diri kita dan agar kita bersyukur dengan syari’at ini.
Sehingga semakin nampak kepada kita bahwa Setelah menyebutkan syariat bersuci,
Allah mengakhiri ayat tersebut dengan firman-Nya:
“Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak menyucikan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur,”
(QS.
Al Maidah: 6)
Namun
bagaimana dan seperti apa Tayamum yang benar sesuai sunnah Nabi? Berikut tata
cara tayammum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dijelaskan dalam hadits ‘Ammar bin
Yasirradhiyallahu ‘anhu:
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku untuk suatu keperluan, kemudian aku
mengalami junub dan aku tidak menemukan air. Maka aku berguling-guling di tanah
sebagaimana layaknya hewan yang berguling-guling di tanah. Kemudian aku
ceritakan hal tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau
mengatakan, “Sesungguhnya cukuplah engkau melakukannya seperti ini”.
Kemudian beliau memukulkan telapak tangannya ke permukaan tanah sekali, lalu
meniupnya. Kemudian beliau mengusap punggung telapak tangan (kanan)nya dengan
tangan kirinya dan mengusap punggung telapak tangan (kiri)nya dengan
tangan kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.
Dalam
salah satu lafadz riwayat Bukhori,
“Dan
beliau mengusap wajahnya dan kedua telapak tangannya dengan sekali usapan”.
(Muttafaq
‘alaihi)
Berdasarkan
hadits di atas, kita dapat simpulkan bahwa tata cara tayammum beliaushallallahu
‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut.
- Memukulkan kedua telapak tangan ke permukaan tanah sekali kemudian meniupnya.
- Mengusap punggung telapak tangan kanan dengan tangan kiri dan sebaliknya.
- Kemudian menyapu wajah dengan dua telapak tangan.
- Semua usapan dilakukan sekali.
- Bagian tangan yang diusap hanya sampai pergelangan tangan saja
- Tayammum dapat menghilangkan hadats besar semisal janabah, demikian juga untuk hadats kecil
- Tidak wajibnya tertib atau berurutan ketika tayammum
Bagaimana
Rasul Bermandi Junub ?
KONDISI
junub, pastilah akan terjadi pada setiap orang dewasa. Mungkin sehabis jima,
perempuan yang baru selesai haid, ataupun bermimpi basah. Satu hal yang juga
pasti adalah tentu saja wajibnya seorang Mukmin dewasa untuk membersihkan
badannya. Bukan sembarang bersih-bersih. Ini adalah mandi junub. Bagaimana
gerangan Rasul Muhammad saw melakukan mandi junub?
Allah
Ta’ala berfirman: “Dan jika
kalian junub maka bersucilah (mandilah),”
(QS. Al-Maidah: 6).
Dari
Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata:
“Kebiasaan
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam jika beliau mandi junub adalah: Beliau
memulainya dengan mencuci kedua tangan beliau, kemudian beliau menuangkan air
dengan tangan kanan ke atas tangan kiri lalu mencuci kemaluanya, kemudian
beliau berwudhu seperti wudhu untuk shalat, kemudian beliau mengambil air lalu
memasukkan jari-jemarinya ke semua pangkal rambut. Sampai setelah beliau
memandang bahwa airnya sudah merata mengenai semua rambut beliau, beliau lalu
menyiram kepalanya sebanyak tiga kali tuangan, kemudian beliau mencuci seluruh
tubuh beliau, kemudian akhirnya mencuci kedua kaki beliau,” (HR.
Al-Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316).
Dari
Maimunah bintu Al-Harits -radhiallahu anha- dia berkata:
“Aku pernah membawa
air mandi untuk junub kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Lalu
beliau memulai dengan membasuh dua telapak tangannya sebanyak dua atau tiga
kali. Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah berisi air, lalu
menuangkan air tersebut pada kemaluan beliau, dan beliau mencucinya (kemaluan)
dengan tangan kiri. Setelah itu, beliau menggosokkan tangan kiri ke tanah
dengan gosokan yang kuat. Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk
shalat. Kemudian beliau menuangkan air ke kepala beliau sebanyak tiga kali
sepenuh telapak tangan, lalu beliau mencuci seluruh tubuhnya. Kemudian beliau
bergerak mundur dari tempat beliau berdiri, lalu beliau mencuci kedua kakinya.
Kemudian aku mengambilkan handuk untuk beliau, tetapi beliau menolaknya,” (HR.
Al-Bukhari pada banyak tempat, di antaranya no. 259 dan Muslim no. 723).
Kalimat
[berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat], diterangkan dalam riwayat lain,
“Kemudian
beliau berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung, kemudian beliau
mencuci wajahnya dan kedua lengannya (tangannya sampai siku).”
1. Cara yang sempurna, yaitu mengerjakan semua rukun, wajib dan sunnah dalam mandi junub. Ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Aisyah dan Maimunah di atas.
2. Cara yang mujzi’ (yang mencukupi), yaitu hanya melakukan yang merupakan rukun dalam mandi junub. Seperti yang diisyaratkan dalam ayat di atas. Imam Ibnu Hazm berkata dalam Al-Muhalla (2/28) menjelaskan ayat di atas, “Bagaimanapun caranya dia bersuci (mandi) maka dia telah menunaikan kewajiban yang Allah wajibkan padanya.”
Masalah
lain yang bisa dipetik dari dalil-dalil di atas adalah:
1. Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin menyatakan tidaknya wajib berwudhu setelah mandi junub berdasarkan ayat di atas. Karena Allah Ta’ala telah menyatakan mandi itu sebagai thaharah dan wudhu termasuk thaharah.
2. Hukum gerakan wudhu yang ada di pertengahan mandi junub adalah sunnah, karena pada mandi junub yang cukup tidak disinggung masalah wudhu.
3. Bolehnya ada jarak antara mencuci anggota wudhu yang satu dengan yang lainnya dalam wudhu, selama anggota wudhu sebelumnya belum kering. Pada hadits Maimunah beliau mengundurkan mencuci kaki dari semua gerakan wudhu sebelumnya.
4. Sebaiknya tidak menggunakan handuk atau yang semacamnya untuk membasuh tubuh setelah mandi junub, akan tetapi hendaknya menggunakan tangan sebagaimana yang diterangkan dalam riwayat lain hadits Maimunah.
5. Menggunakan tangan kiri ketika akan menyentuh sesuatu yang najis.
1. Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin menyatakan tidaknya wajib berwudhu setelah mandi junub berdasarkan ayat di atas. Karena Allah Ta’ala telah menyatakan mandi itu sebagai thaharah dan wudhu termasuk thaharah.
2. Hukum gerakan wudhu yang ada di pertengahan mandi junub adalah sunnah, karena pada mandi junub yang cukup tidak disinggung masalah wudhu.
3. Bolehnya ada jarak antara mencuci anggota wudhu yang satu dengan yang lainnya dalam wudhu, selama anggota wudhu sebelumnya belum kering. Pada hadits Maimunah beliau mengundurkan mencuci kaki dari semua gerakan wudhu sebelumnya.
4. Sebaiknya tidak menggunakan handuk atau yang semacamnya untuk membasuh tubuh setelah mandi junub, akan tetapi hendaknya menggunakan tangan sebagaimana yang diterangkan dalam riwayat lain hadits Maimunah.
5. Menggunakan tangan kiri ketika akan menyentuh sesuatu yang najis.
Tata
Cara Mandi Junub Khusus Wanita
SETIAP perempuan, yang sudah
baligh, tentu saja akan mendapatkan siklus bulanan yang tetap, menstruasi.
Selesai menstruasi, seorang Muslimah diwajibkan mandi junub atau masyrakat kita
menyebutnya keramas. Untuk yang sudah menikah, mandi junub sepertinya hampir
tidak mungkin dilakukan satu bulan sekali. Mungkin sepekan sekali. Mungkin
sehari sekali. Nah, bagaimana seorang Muslimah harus melakukan mandi junub?
Tata
cara mandi bagi wanita, dibedakan antara mandi
junubdan mandi setelah haid atau nifas. Untuk tata cara mandi junub bagi
wanita, sama dengan tata cara mandi bagi laki-laki, sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas. Hanya saja, wanita yang mandi junub dibolehkan untuk
menggelung rambutnya, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ummu Salamah,
beliau bertanya:
“Wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang gelungan rambutnya
besar. Apakah aku harus membuka gelungan rambutku ketika mandi junub?”
Beliau
menjawab:
“Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu menyela-nyelai kepalamu dengan
air tiga kali, kemudian guyurlah kepala dan badanmu dengan air, sehingga kamu
telah suci.”
(HR. Muslim no. 330).
Dan
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
“Kami ( istri-istri Nabi) apabila
salah seorang diantara kami junub, maka dia mengambil (air) dengan kedua
telapak tangannya tiga kali lalu menyiramkannya di atas kepalanya, kemudian dia
mengambil air dengan satu tangannya lalu menyiramkannya ke bagian tubuh kanan
dan dengan tangannya yang lain ke bagian tubuh yang kiri,” (HR.
Bukhari: 277 dan Abu Dawud: 253).
Berikut
ini, ringkasan tata cara mandi junub seorang Muslimah yang disunnahkan adalah
sebagai berikut:
1.
Niat (Menurut para ulama niat itu tempatnya di hati).
2.
Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan tersebut
dimasukkan dalam bejana atau sebelum mandi.
3.
Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.
4. Mencuci
tangan setelah membersihkan kemaluan dengan menggosokkan ke tanah (atau lantai)
atau dengan menggunakan sabun.
5. Berwudhu
dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak shalat.
6. Menyiramkan
air ke atas kepalanya tiga kali.
7. Mengguyur
air pada kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal rambut atau kulit
kepala dengan menggosok-gosokkannya dan menyela-nyelanya (Tidak wajib bagi
wanita untuk mengurai ikatan rambutnya).
8.
Mengguyur air ke seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan setelah itu
yang kiri.
Sementara
untuk mandi karena haidh dan nifas, tata caranya sama dengan mandi junub namun
ditambahkan dengan beberapa hal berikut ini:
Pertama:
Dianjurkan Menggunakan Sabun.
Hal
ini berdasarkan hadis Aisyah radhiallahu
‘anha, yang bertanya kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang
mandi wanita haid. Beliau menjelaskan:
“Kalian
hendaklah mengambil air dan daun bidara, lalu wudhu dengan sempurna.
Kemudian menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya agak
keras hingga mencapai akar rambut kepalanya. Kemudian menyiramkan air pada
kepalanya. Kemudian engkau mengambil kapas bermisik, lalu bersuci dengannya.”
(HR. Bukhari no. 314 & Muslim no. 332)
Kedua:
Melepas gelungan, sehingga air bisa sampai ke pangkal rambut
Hadis
di atas merupakan dalil dalam hal ini: “…lalu menggosok-gosoknya agak keras
hingga mencapai akar rambut kepalanya..”
Hadis
ini menunjukkan tidak cukup dengan hanya mengalirkan air seperti halnya mandi
junub, namun harus juga digosok, seperti orang keramas memakai sampo. [berbagai sumber]
Apa
Yang Dilarang Dalam Kondisi Junub
SETIAP
pasangan suami-istri yang halal tentu saja harus memperhatikan semua urusan
tempat tidurnya. Bukan hanya ketika ‘tengah’ melakukan hubungan suami istri
saja, tetapi juga urusan pribadi seorang Muslim ketika usai melakukan ibadah
itu.
Otomatis,
setelah usai berhubungan, siapapun akan dalam berada kondisi junub. Nah,
seseorang yang dalam keadaan junub disyariatkan untuk mandi janabah, karena dia
harus melakukan ibadah wajib (seperti shalat),
yang disyaratkan di dalamnya suci dari hadats kecil dan besar. Apabila
seseorang yang sedang junub belum mandi, maka tidak ada perkara yang dilarang,
kecuali hal-hal yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Di
antara larangan itu adalah:
1.
Shalat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci.” (Hr. Muslim: 1/204)
2.
Menyentuh mushaf al-Quran, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“ Tidak boleh menyentuh
al-Quran, kecuali orang yang suci.” (Hr.
Daruquthni: 1/122, Baihaqi: 1/88, Thabrani: 9/33; dinilai shahih oleh al-Albani
dalam Irwa’ al-Ghalil:
122)
3.
Membaca al-Quran, sebagaimana dalam hadits, Dari Ali bin Abi Thalib, dia
berkata,
“Rasulullah membacakan al-Quran kepada kami, kecuali ketika beliau
sedang junub.” (Hr. Abu
Daud: 229, Nasa’i: 1/144, Tirmizi: 146, Ibnu Majah: 594, Ibnu Hibban: 799, dan
Ahmad: 1/83)
4.
Tinggal di mesjid. Adapun sekadar lewat karena suatu kebutuhan adalah
dibolehkan, sebagaimana firman-Nya,
“…Janganlah
masuk mesjid sedangkan kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu
saja, hingga kamu mandi.”
(Qs. An-Nisa`: 43)
Adapun
perbuatan lain, selama tidak ada dalil larangannya, maka boleh dilakukan
walaupun sedang junub, seperti makan, minum, berzikir (selain membaca
al-Quran), dan lainnya.
Dua
Waktu Tidur Yang Dilarang
TIDUR
merupakan aktivitas yang dibutuhkan oleh tubuh kita. Rasul mengatakan bahwa
tubuh kita mempunyai hak untuk beristirahat. Tidur juga meremajakan kembali
kulit tubuh dan menyegarkan jiwa. Namun, ternyata ada dua waktu tidur yang
menurut Rasul, hendaknya dihindari.
1.
Tidur di Pagi Hari Setelah Shalat Shubuh
Dari
Sakhr bin Wadi’ah Al-Ghamidi radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda :
”Ya
Allah, berkahilah bagi ummatku pada pagi harinya,”
(HR. Abu dawud 3/517, Ibnu
Majah 2/752, Ath-Thayalisi halaman 175, dan Ibnu Hibban 7/122 dengan sanad
shahih).
Ibnul-Qayyim
telah berkata tentang keutamaan awal hari dan makruhnya menyia-nyiakan waktu
dengan tidur, dimana beliau berkata :
“Termasuk hal yang makruh bagi mereka –
yaitu orang shalig – adalah tidur antara shalat shubuh dengan terbitnya
matahari, karena waktu itu adalah waktu yang sangat berharga sekali. Terdapat
kebiasaan yang menarik dan agung sekali mengenai pemanfaatan waktu tersebut
dari orang-orang shalih, sampai-sampai walaupun mereka berjalan sepanjang malam
mereka tidak toleransi untuk istirahat pada waktu tersebut hingga matahari
terbit. Karena ia adalah awal hari dan sekaligus sebagai kuncinya. Ia merupakan
waktu turunnya rizki, adanya pembagian, turunnya keberkahan, dan darinya hari
itu bergulir dan mengembalikan segala kejadian hari itu atas kejadian saat yang
mahal tersebut. Maka seyogyanya tidurnya pada saat seperti itu seperti tidurnya
orang yang terpaksa” (Madaarijus-Saalikiin 1/459).
2.
Tidur Sebelum Shalat Isya’
Diriwayatkan
dari Abu Barzah radlyallaahu ‘anhu : ”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam membenci tidur sebelum shalat isya’ dan mengobrol setelahnya”
(HR. Bukhari 568 dan Muslim 647).
Mayoritas
hadits-hadits Nabi menerangkan makruhnya tidur sebelum shalat isya’. Oleh sebab
itu At-Tirmidzi (1/314) mengatakan : “Mayoritas ahli ilmu menyatakan makruh
hukumnya tidur sebelum shalat isya’ dan mengobrol setelahnya. Dan sebagian
ulama’ lainnya memberi keringanan dalam masalah ini. Abdullah bin Mubarak
mengatakan : “Kebanyakan hadits-hadits Nabi melarangnya, sebagian ulama
membolehkan tidur sebelum shalat isya’ khusus di bulan Ramadlan saja”.
Al-Hafidh
Ibnu Hajar berkata dalam Fathul-Baari (2/49) : “Di antara para ulama melihat
adanya keringanan (yaitu) mengecualikan bila ada orang yang akan
membangunkannya untuk shalat, atau diketahui dari kebiasaannya bahwa tidurnya
tidak sampai melewatkan waktu shalat. Pendapat ini juga tepat, karena kita
katakan bahwa alasan larangan tersebut adalah kekhawatiran terlewatnya waktu
shalat”.