GUIDE TO ISLAM Qur'an Hadith

GUIDE TO ISLAM Qur'an Hadith

TRANSLATE THIS PAGE

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutchRussianPortugueseJapaneseKoreanArabicChinese Simplified

KISAH TAULADAN ISLAM


Salman al Farisi


Salman berasal dari Isfahan, suatu daerah di bawah kekuasaan Kisra Persia, yang mayoritas beragama Majusi, kaum penyembah api. Ayahnya seorang pejabat setingkat bupati yang amat menyayanginya, dan ia diberikan tugas sebagai penjaga api suci, yang bertanggung jawab agar api sesembahan tetap menyala, tidak sampai padam. Sebuah tugas mulia dalam agama Majusi.


Jalan yang dilaluinya untuk memperoleh hidayah cukup berliku. Berawal dari ketertarikannya pada cara ibadah orang Nashrani, ia masuk agama Nashrani. Orang tuanya marah dan merantainya, tapi ia berhasil kabur dan mengikuti rombongan orang-orang Nashrani ke Syiria. Ia tinggal di gereja mengikuti seorang uskup sebagai pelayan, sekaligus belajar lebih dalam tentang agama barunya itu. Sayangnya uskup tersebut mengumpulkan sedekah untuk kepentingan pribadinya. Untungnya setelah uskup ini meninggal, sebagai penggantinya diangkat seorang yang saleh, sehingga ia memperoleh banyak kemajuan secara rohaniah. Ketika uskup tersebut akan meninggal, ia menyarankan Salman untuk menemui seorang pendeta di Mosul, karena ia melihat tidak ada orang yang cukup pantas dan baik sebagai penggantinya untuk gereja tersebut. 

Salman berangkat ke Mosul menemui pendeta yang ditunjukkan uskup sambil menceritakan pengalaman dan pencariannya, dan ia diterima dengan baik. Sama seperti sang uskup sebelumnya, ketika akan meninggal, pendeta tersebut menyarankannya untuk tinggal bersama seorang saleh di Nasibin. Dan menjelang ajal, orang saleh di Nasibin inipun menyarankan untuk menemui seorang pemimpin yang saleh di Amuria, suatu kota wilayah Romawi.



Salman tinggal di Amuria dengan pemimpin yang saleh ini beberapa waktu lamanya. Sebagai bekal hidupnya ia memelihara beberapa ekor sapi dan kambing. Menjelang ajal sang Pemimpin Amuria itu, lagi-lagi Salman bertanya tentang siapa yang pantas diikuti dan bisa membimbingnya, pemimpin yang saleh ini berkata, "Wahai anakku, tak ada seorangpun yang kukenal yang sama keadaannya dengan kita, yang dapat kupercayakan engkau kepadanya. Tetapi sekarang telah dekat waktunya kebangkitan seorang nabi yang mengikuti agama Ibrahim secara murni. Ia nanti akan hijrah ke suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan berada di antara dua bidang tanah yang berbatu-batu hitam. Seandainya engkau dapat kesana, temuilah dia. Ia mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang, ia tidak mau makan sedekah, tetapi ia bersedia menerima atau memakan hadiah yang diberikan kepadanya. Ia mempunyai cap kenabian di pundaknya, yang jika engkau melihatnya, engkau pasti mengenalinya."



Ketika ada rombongan dari jazirah Arab, yang ia tahu banyak ditumbuhi kurma sampai di Amuria, ia meminta untuk bisa mengikuti mereka dan memberikan imbalan ternak-ternaknya, dan mereka bersedia. Tetapi sampai di tempat bernama Wadil Qura, Salman dianiaya dan dijual sebagai budak kepada orang Yahudi.



Beberapa waktu kemudian datang seorang yahudi dari Bani Quraizhah, membelinya sebagai budak dan membawanya ke Yatsrib (nama Madinah pada masa jahiliah), untuk dipekerjakan di kebun kurmanya. Begitu tiba di Yatsrib, yakinlah ia bahwa ini negeri yang dimaksudkan oleh pemimpin yang saleh di Amuria. Karena itu ia bekerja dengan gembira walau sebagai budak, sambil menunggu kabar tentang munculnya nabi sebagaimana diramalkan oleh pemimpin Amuria tersebut.



Suatu ketika ia sedang di puncak pohon kurma, tiba-tiba datang sepupu majikannya dan berkata, "Bani Qilah celaka, mereka mengerumuni seorang lelaki dari Mekkah yang mengaku sebagai nabi. Mereka sedang berkumpul di Quba…."



Saat itu memang Nabi SAW bersama Abu Bakar baru saja tiba di Quba, singgah pada Bani Amr bin Auf. Mendengar kabar tersebut tubuh Salman bergoyang keras dan hampir jatuh menimpa tubuh tuannya di bawahnya. Ia bergegas turun dan tanpa sadar statusnya sebagai budak, ia menuju tamu tuannya dan berkata, "Apa kata anda? Ada kabar apakah?"



Majikannya memukulnya sekuatnya dan berkata, "Apa urusanmu dengan semua ini, cepat kembali bekerja." 

Sore harinya setelah pekerjaannya selesai, ia mengumpulkan bahan makanan yang dimilikinya dan bergegas ke Quba menemui Nabi SAW dan para sahabatnya yang berkumpul. Ia berkata, "Tuan-tuan adalah perantau, kebetulan aku memiliki persediaan makanan untuk sedekah. Tentu tuan-tuan sangat membutuhkannya…."



Salman menaruh makanan tersebut di depan Nabi SAW, dan beliau memanggil para sahabatnya dan berkata "Makanlah dengan Nama Allah…!"



Mereka berkumpul menyantap makanan tersebut tetapi beliau sama sekali tidak menyentuhnya. 

Melihat hal itu, Salman berkata dalam hati, "Demi Allah, inilah salah satu dari tanda-tanda ia seorang nabi, ia tidak mau memakan sedekah."



Keesokan harinya ia datang lagi menghadap Nabi SAW dengan membawa makanan dan ia berkata, "Kulihat tuan tidak mau makan sedeqah, tetapi ini adalah hadiah untuk tuan…"



Nabi SAW memanggil sahabat-sahabatnya untuk menyantap makanan yang dibawa Salman, dan beliaupun ikut memakannya. Dan Salman berkata dalam hati, "Ini adalah tanda yang kedua, beliau mau makan yang diberikan sebagai hadiah."



Beberapa hari (bulan) kemudian, Salman menemui Nabi SAW yang berada di Baqi sedang menguburkan jenazah seorang sahabat, beliau memakai dua kain lebar, satu untuk baju dan satunya untuk sarung. Ia memberi salam sambil melihat ke arah pundak beliau, dan beliau tanggap isyarat tersebut, Beliau sedikit menyingkapkan burdah dari leher sehingga Salman bisa melihat cap kenabian seperti diceritakan orang saleh Amuria.



Salman tidak bisa menahan diri lagi, pencarian panjangnya berakhir sudah. Ia menangis dan meratap sambil menciumi Nabi SAW. Setelah suasana emosional yang meliputinya mereda, ia duduk menghadap Rasulullah SAW dan menceritakan pengalaman dan perjalanan untuk mencapai hidayah Allah SWT ini. Ia segera mengucap syahadat untuk menyatakan keislamannya.



Ketika perang Badar dan Uhud berlangsung, Salman tidak bisa ikut serta karena statusnya sebagai budak jadi halangan baginya. Tuannya yang seorang Yahudi tentu saja tidak akan membiarkannya meninggalkan pekerjaan di kebun kurma untuk menyertai Nabi SAW di dua peperangan tersebut. Suatu ketika Nabi SAW berkata kepadanya, "Mintalah kepada tuanmu agar ia membebaskanmu dengan uang tebusan…!"



Salman menyampaikan hal itu kepada tuannya dan ia menyetujuinya. Nabi SAW menyeru kepada para sahabat untuk mengumpulkan dana sebagai pembayaran kebebasannya dari perbudakan. Maka jadilah ia orang merdeka dan lebih leluasa untuk belajar, beribadah dan berjuang bersama Nabi SAW.



Pada perang Ahzab, dimana beberapa kabilah di jazirah Arab bersekutu untuk menggempur Madinah, Nabi SAW mengadakan musyawarah bagaimana cara menghadapi mereka. Situasinya cukup kritis, karena menurut informasi yang dihimpun oleh mata-mata yang dikirimkan Nabi SAW, mereka ini lebih dari sepuluh ribu prajurit yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb. Jumlah ini lebih banyak daripada seluruh penduduk Madinah, termasuk wanita dan anak-anaknya. Apalagi pasukan sekutu yang sebenarnya atas inisiatif kaum Yahudi Bani Nadhir ini, sempat mempengaruhi kaum Yahudi Bani Quraizhah yang tinggal di Madinah untuk mendukung mereka, padahal kabilah ini terikat perjanjian damai dengan Nabi SAW dalam Piagam Madinah. 

Setelah berlangsung diskusi cukup lama dan beberapa usulan masuk kepada Nabi SAW, Salman berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, dulu kami orang-orang Persi jika sedang dikepung musuh, kami menggali parit di sekeliling kami untuk mempertahankan diri. Bagaimana kalau kita menggali parit untuk perlindungan kota Madinah??" 



Usulan yang cukup brillian ini diterima oleh forum musyawarah. Itulah sebabnya perang Ahzab ini juga dikenal sebagai Perang Khandaq (Perang Parit). Terbuktilah kemudian strategi ini sangat berhasil, gelombang pasukan yang begitu besar yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb ternyata tak berkutik. Strategi ini tidak pernah dikenal oleh orang-orang Arab yang pada dasarnya suka berperang, karena itu mereka tidak pernah mengantisipasi sebelumnya. Akhirnya mereka hanya bisa melakukan pengepungan, yang sebenarnya inipun di luar perhitungan mereka, secara perbekalanpun tidak dipersiapkan unuk itu.



Pada perang Ahzab ini tidak terjadi perang fisik secara besar-besaran, hanya percikan kecil ketika sekelompok kecil orang Quraisy berusaha menyeberangi parit dan tentunya dengan mudah dipatahkan oleh Pasukan Muslim yang telah bersiap di sisi parit. Bisa dikatakan ini adalah Psy War, perang urat syaraf yang menguji keteguhan dan kesabaran mental para pelakunya. Memang pasukan muslim sempat terganggu dengan pengkhianatan kaum Yahudi Bani Quraizhah, tetapi setelah hampir sebulan pengepungan, Allah menurunkan pertolonganNya, termasuk dalam bentuk Islamnya Nu'aim bin Mas'ud bin Amir al Asyjay, sehingga pasukan sekutu terpecah-belah dan pulang kembali ke tempat masing-masing tanpa hasil yang diharapkan.



Salman yang masih Majusyi, hidup dalam kemewahan sebagai anak pejabat setingkat bupati, dalam jabatan mulia penjaga api sembahan orang Majusyi, semua itu ditinggalkannya ketika percik hidayah menyapanya. Hidup terlunta berpindah-pindah, bahkan menjadi budak sekalipun tidak dihiraukan asal menemukan titik hidayah tersebut. Ini menunjukkan karakter seperti apa yang dimiliki Salman. Dan karakter ini makin menguat ketika sosok hidayah tersebut adalah Rasulullah SAW, suatu teladan hidup dalam kesederhanaan dan jauh dari cinta dunia.



Ketika Islam mengalami kejayaan, harta kekayaan mengalir ke Madinah dan wilayah makin meluas, sebagai salah seorang sahabat utama Nabi SAW, mau tidak mau, suka tidak suka Salman jadi terlibat juga dalam hal yang sebenarnya tidak disukainya, jabatan dan kekayaan. Khalifah Umar memaksanya untuk memegang jabatan Amir di wilayah Madain, padahal ia selalu menolak suatu jabatan kecuali sebagai pimpinan pasukan yang berjuang di jalan Allah, karena ia memang sangat merindukan menjadi syahid. Bahkan ia punya prinsip, yakni : "Jika engkau masih mampu makan tanah, asal tidak membawahi dua orang manusia, maka lakukanlah!!" 



Tetapi menghadapi khalifah Umar yang sama zuhudnya dengan dirinya ia tidak berkutik, Umar selalu berkata kepada para sahabat yang menolak jabatan karena zuhud, seperti ini atau semisal ini, "Kalian telah memba'iat dan membebani aku dengan amanat ini, yang aku sendiri tidak menginginkannya, maka tolonglah aku untuk menjalankan amanat ini…."



Menjadi Amir di Madain ternyata tidak melunturkan karakter kesederhanaannya. Ketika rumah jabatan disiapkan oleh seorang tukang bangunan, ia bertanya, "Rumah seperti apa yang engkau siapkan untuk diriku??"



Ternyata tukang bangunan tersebut sangat mengenal karakter Salman, ia berkata, "Jangan anda khawatir, rumah tersebut merupakan bangunan yang bisa dijadikan tempat berteduh di waktu hujan, bernaung di waktu panas. Jika anda berdiri dan merentangkan tangan ke atas, anda akan menyentuh langit-langitnya, jika anda berbaring, kepala dan kaki anda akan menyentuh dinding dindingnya…"



Salman puas dengan penjelasan tersebut. Tunjangannya sebagai amir adalah empat ribu sampai enam ribu dirham setahun, tetapi itu langsung habis disedekahkan pada hari ia menerimanya. Di sela waktu melayani keperluan umat, ia asyik menjalin dan mengayam daun kurma menjadi bakul atau keranjang. Setelah selesai, dijualnya ke pasar seharga tiga dirham, satu dirham dibelikan daun kurma (untuk bahan membuat keranjang), satu dirham untuk menafkahi keluarganya dan satu dirham sisanya disedekahkan.



Suatu ketika ada seorang Syria yang membawa sepikul buah tin dan kurma, ia tampak kesulitan karena bebannya terlalu berat. Ketika lewat seseorang yang tampak miskin dan kumuh, ia berkata, "Tolong bawakan barangku ini ke rumahku, nanti aku beri upah.."



Tanpa banyak bicara orang tersebut bersedia membantunya, mereka berjalan beriringan ke rumahnya. Anehnya setiap kali bertemu serombongan orang, orang yang membantunya itu memberi salam, dan mereka menjawab, "Juga kepada Amir, kami ucapkan salam…!"



Bahkan terkadang salah seorang dari mereka menghampiri untuk mengambil alih memikulnya, tetapi selalu ditolaknya. Ketika keheranannya makin memuncak, ia sadar bahwa yang membantunya tersebut adalah Amir kota Madain, Salman al Farisi. Buru-buru ia meminta maaf dan akan mengambil alih pikulannya, tetapi Salman berkata, "Tidak usah, biarlah akan kuantar sampai ke rumahmu seperti telah kuniatkan…."

(sumber: kisahteladan354)


SAID bin Umar al Jumahi, 
termasuk seorang pemuda di antara ribuan orang yang pergi ke Tan’im, di luar kota Makkah. Mereka berbondong-bondong ke sana, dikerahkan para pemimpin Quraisy untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman mati terhadap Khubaib bin Adi, yaitu seorang sahabat Nabi yang mereka hukum tanpa alasan.
Dengan semangat muda yang menyala-nyala, Said maju menerobos orang banyak yang berdesak-desakan. Akhirnya dia sampai ke depan, sejajar dengan tempat duduk orang-orang penting, seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayah dan lain-lain.
Kaum kafir Quraisy sengaja mempertontonkan tawanan mereka dibelenggu. Sementara para wanita, anak-anak dan pemuda, menggiring Khubaib ke lapangan maut. Mereka ingin membalas dendam terhadap Nabi Muhammad saw, serta melampiaskan sakit hati atas kekalahan mereka dalam perang Badar.
Ketika tawanan yang mereka giring sampai ke tiang salib yang telah disediakan, Said mendongakkan kepala melihat kepada Khubaib bin Adi. Said mendengar suara Khubaib berkata dengan mantap, ”Jika kalian bolehkan, saya ingin shalat dua rakaat sebelum saya kalian bunuh…”
Kemudian Said melihat Khubaib menghadap ke kiblat (Ka’bah). Dia shalat dua rakaat. Alangkah bagus dan sempurnanya shalatnya itu. Sesudah shalat, Khubaib menghadap kepada para pemimpin Quraisy seraya berkata, ”Demi Allah! Seandainya kalian tidak akan menuduhku melama-lamakan shalat untuk mengulur-ngulur waktu karena takut mati, niscaya saya akan shalat lagi.” Mendengar ucapan Khubaib tersebut, Said melihat para pemimpin Quraisy naik darah, bagaikan hendak mencincang-cincang tubuh Khubaib hidup-hidup.
Kata mereka, ”Sukakah engkau si Muhammad menggantikan engkau, kemudian engkau kami bebeskan?”
“Saya tidak ingin bersenang-senang dengan istri dan anak-anak saya, sementara Muhammad tertusuk duri,” jawab Khubaib mantap.
“Bunuh dia! Bunuh dia!” teriak orang banyak. Said melihat Khubaib telah dipakukan ke tiang salib. Dia mengarahkan pandangannya ke langit sambil berdoa,”Ya Allah! Hitunglah jumlah mereka! Hancurkan mereka semua. Jangan disisakan seorang jua pun!”
Tidak lama kemudian Khubaib menghembuskan nafasnya yang terakhir di tiang salib. Sekujur tubuhnya penuh dengan luka-luka karena tebasan pedang dan tikaman tombak yang tak terbilang jumlahnya.
Kaum Kafir Quraisy kembali ke Makkah biasa-biasa saja. Seolah-olah mereka telah melupakan peristiwa maut yang merenggut jiwa Khubaib dengan sadis. Tetapi Said bin Amir al Jumahi yang baru meningkat remaja tidak dapat melupakan Khubaib walau ‘sedetikpun’. Sehingga dia bermimpi melihat Khubaib menjelma dihadapannya. Dia seakan-akan melihat Khubaib menjelma di hadapannya. Dia seakan-akan melihat Khubaib shalat dua rakaat dengan khusyu’ dan tenang di bawah tiang salib. Seperti terdengar olehnya rintihan suara Khubaib mendoakan kaum kafir Quraisy. Karena itu Said ketakutan kalau-kalau Allah SWT segera mengabulkan doa Khubaib, sehingga petir dan halilintar menyambar kaum Quraisy.
Keberanian dan ketabahan Khubaib menghadapi maut mengajarkan Said beberapa hal yang belum pernah diketahuinya selama ini.
Pertama, hidup yang sesungguhnya adalah hidup beraqidah, beriman, kemudian berjuang mempertahankan aqidah itu sampai mati.
Kedua, iman yang telah terhunjam di hati seseorang dapat menimbulkan hal-hal yang ajaib dan luar biasa.
Ketiga, orang yang paling dicintai Khubaib ialah sahabatnya, yaitu seorang Nabi yang dikukuhkan dari langit.
Sejak itu Allah SWT membukakan hati Said bin Amir untuk menganut agama Islam. Kemudian dia berpidato di hadapan khalayak ramai, menyatakan: ‘alangkah bodohnya orang Quraisy menyembah berhala’. Karena itu dia tidak mau terlibat dalam kebodohan itu. Lalu dibuangnya berhala-berhala yang dipujanya selama ini. Kemudian diumumkannya, mulai saat itu dia masuk Islam.
Tidak lama sesudah itu, Said menyusul kaum Muslimin hijrah ke Madinah. Di sana dia senantiasa mendampingi Nabi saw. Dia ikut berperang bersama beliau, mula-mula dalam peperangan Khaibar. Kemudian dia selalu turut berperang dalam setiap peperangan berikutnya.
Setelah Nabi saw berpulang ke rahmatullah, Said tetap menjadi pembela setia Khalifah Abu Bakar dan Umar. Dia menjadi teladan satu-satunya bagi orang-orang mukmin yang membeli kehidupan akhirat dengan kehidupan dunia. Dia lebih mengutamakan keridhaan Allah dan pahala daripada-Nya di atas segala keinginan hawa nafsu dan kehendak jasad.
Kedua khalifah Rasulullah, Abu Bakar dan Umar bin Khattab, mengerti bahwa ucapan-ucapan Said sangat berbobot dan taqwanya sangat tinggi. Karena itu keduanya tidak keberatan mendengar dan melaksanakan nasihat-nasihat Said.
Pada suatu hari di awal pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Said datang kepadanya memberi nasihat. Kata Said,”Ya Umar! Takutlah kepada Allah dalam memerintah manusia. Jangan takut kepada manusia dalam menjalankan agama Allah! Jangan berkata berbeda dengan perbuatan. Karena sebaik-baik perkataan ialah yang dibuktikan dengan perbuatan. Hai Umar! Tujukanlah seluruh perhatian Anda kepada urusan kaum Muslimin, baik yang jauh maupun yang dekat. Berikan kepada mereka apa yang Anda dan keluarga sukai. Jauhkan dari mereka apa-apa yang Anda dan keluarga tidak sukai. Arahkan semua karunia Allah kepada yang baik. Jangan hiraukan cacian orang-orang yang suka mencaci.”
“Siapakah yang sanggup melaksanakan semua itu, hai Said?” Tanya Khalifah Umar. “Tentu orang seperti Anda! Bukankah Anda telah dipercayai Allah memerintah umat Muhammad ini? Bukankah antara Anda dengan Allah tidak ada lagi suatu penghalang?” jawab Said meyakinkan.
Pada suatu ketika Khalifah Umar memanggil Said untuk diserahi suatu jabatan dalam pemerintahan. “Hai Said! Engkau kami angkat menjadi Gubernur di Himsh!” kata Khalifah Umar.
“Wahai Umar! Saya mohon kepada Allah semoga Anda tidak mendorong saya condong kepada dunia,” kata Said.
“Celaka engkau!” Balas Umar marah. “Engkau pikulkan beban pemerintahan ini di pundakku, tetapi kemudian engkau menghindar dan membiarkanku repot sendiri.”
“Demi Allah! Saya tidak akan membiarkan Anda,” jawab Said.
Kemudian Khalifah Umar melantik Said menjadi gubernur di Himsh. Sesudah pelantikan khalifah Umar bertanya kepada Said, ”Berapa gaji yang Engkau inginkan?”
“Apa yang harus saya perbuat dengan gaji itu, ya Amirul Mukminin?” jawab Said balik bertanya. “Bukankah penghasilan saya dari Baitul Mal sudah cukup?”
Tidak berapa lama setelah Said memerintah di Himsh, sebuah delegasi datang menghadap khalifah Umar di Madinah. Delegasi itu terdiri dari penduduk Himsh yang ditugasi Khalifah mengamat-amati jalannya pemerintahan di Himsh.
Dalam pertemuan dengan delegasi tersebut, Khalifah Umar meminta daftar fakir miskin Himsh untuk diberikan santunan. Delegasi mengajukan daftar yang diminta khalifah. Di dalam daftar tersebut terdapat nama-nama di Fulan, dan nama Said bin Amir al Jumahi.
Ketika Khalifah meneliti daftar tersebut, beliau menemukan nama Said bin Amir al Jumahi. Lalu beliau bertanya, ”Siapa Said bin Amir yang kalian cantumkan ini?”
“Gubernur kami!” jawab mereka. “Betulkah gubernur kalian miskin?” jawab Khalifah heran.
“Sungguh, ya Amirul Mukminin! Demi Allah! Seringkali di rumahnya tidak kelihatan tanda-tanda api menyala (tidak memasak),” jawab mereka meyakinkan.
Mendengar perkataan itu, Khalifah Umar menangis, sehingga air mata beliau meleleh membasahi jenggotnya. Kemudian beliau mengambil sebuah pundit-pundi berisi uang seribu dinar.
“Kembalilah kalian ke Himsh. Sampaikan salamku kepada Gubernur Said bin Amir, dan uang ini saya kirimkan untuk beliau, guna meringankan kesulitan-kesulitan rumah tangganya,” ucap Umar sedih.
Setibanya di Himsh, delegasi itu segera menghadap Gubernur Said, menyampaikan salam dan uang kiriman Khalifah untuk beliau. Setelah Gubernur Said melihat pundi-pundi berisi uang dinar, pundi-pundi itu dijauhkannya dari sisinya seraya berucap, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (kita milik Allah dan pasti kembali kepada Allah).
Mendengar ucapannya itu, seolah-olah suatu mara bahaya sedang menimpanya. Karena itu istrinya segera menghampiri seraya bertanya, ”Apa yang terjadi, hai Said? Meninggalkah Amirul Mukminin?”
“Bahkan lebih besar dari itu!” jawab Said sedih. “Apakah tentara kaum Muslimin kalah berperang?” tanya istrinya lagi. “Jauh lebih besar dari itu!” jawab Said tetap sedih. “Apa pulalah gerangan yang lebih dari itu?” tanya istrinya tak sabar. “Dunia telah datang untuk merusak akhiratku. Bencana telah menyusup ke rumah tangga kita,” jawab Said mantap.
“Bebaskan dirimu daripadanya!” kata istri Said memberi semangat, tanpa mengetahui perihal adanya pundi-pundi uang yang dikirimkan Khalifah Umar untuk pribadi suaminya.
“Maukah engkau menolongku berbuat demikian?” Tanya Said.
“Tentu!” jawab istrinya bersemangat. Maka Said mengambil pundi-pundi uang itu, lalu disuruhnya istrinya membagi-bagikan kepada fakir miskin…
(Sumber: Kepahlawanan Dalam Generasi Sahabat Karangan DR. Abdurrahman Raf’at Basya/Nuim Hidayat)

RASA SAYANG DAN RASA SABAR ... 
MESKI SELEPAS PULANG DARI MEDAN PERANG

suatu hari Rasulullah SAW pulang dari perjalanan jihad fisabilillah. Beliau pulang diiringi para sahabat. Di depan pintu gerbang kota Madinah nampak Aisyah r.a sudah menunggu dengan penuh kangen. Rasa rindu kepada Rasulullah SAW sudah sangat terasa.
Akhirnya Rasulullah SAW tiba juga ditengah kota Madinah. Aisyah r.a dengan sukacita menyambut kedatangan suami tercinta.
Tiba Rasulullah SAW di rumah dan beristirahat melepas lelah. Aisyah dibelakang rumah sibuk membuat minuman untuk Sang suami. Lalu minuman itupun disuguhkan kepada Rasulullah SAW.
Beliau meminumnya perlahan hingga hampir menghabiskan minuman tersebut tiba tiba Aisyah berkata, “Yaa Rasulullah biasanya engkau memberikan sebagian minuman kepadaku tapi kenapa pada hari ini tidak kauberikan gelas itu?”
Rasulullah SAW diam dan hendak melanjutkan meminum habis air digelas itu. Dan Aisyah bertanya lagi, Yaa Rasulullah biasanya engkau memberikan sebagian minuman kepadaku tapi kenapa pada hari ini tidak kau berikan gelas itu?”
Akhirnya Rasulullah SAW memberikan sebagian air yang tersisa di gelas itu Aisyah r.a meminum air itu dan ia langsung kaget terus memuntahkan air itu.
Ternyata air itu terasa asin bukan manis. Aisyah baru tersadar bahwa minuman yang ia buat dicampur dengan garam bukan gula. Kemudian Aisyah r.a langsung meminta maaf kepada Rasulullah.


BACA JUGA ...
Categories:

Popular Posts

.

.
hadist, panduan, pegangan, amalan

*** Promote Your Business to Worldwide ***