GUIDE TO ISLAM Qur'an Hadith

GUIDE TO ISLAM Qur'an Hadith

TRANSLATE THIS PAGE

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutchRussianPortugueseJapaneseKoreanArabicChinese Simplified

Tampilkan postingan dengan label Riba. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Riba. Tampilkan semua postingan

Pangkal Masalah Kita Adalah Riba

MASALAH UTAMA


Dalam satu haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah sallallahu’alaihi wassalam bersabda, 
“Akan datang suatu masa ketika semua orang memakan riba. Mereka yang tidak mau makan riba pun pasti terkena debunya.” 
Masa itu adalah hari ini, dan itu artinya kita semua tengah terlibat dengan riba. Sebab, di masa ini, seluruh tata kehidupan kita telah bercampur dengan riba hingga kita tak bisa menghindarinya. Riba telah menjadi cara hidup kita. Perhatikanlah bagaimana kita menjalani kehidupan sehari-hari saat ini.
Untuk memiliki sebuah rumah, kendaraan, bahkan peralatan rumah tangga (tivi, perabot elektronik, mebel, dsb), pada umumnya, kita membayarnya dengan kredit berbunga. Sebab harga-harga kebutuhan hidup ini kalau harus dibeli secara tunai sudah semakin tidak terjangkau. Lebih dari itu, untuk kebutuhan sekunder pun, seperti untuk ongkos pendidikan dan biaya kesehatan, malah untuk kehidupan hari tua, kebanyakan kita mengandalkan layanan yang juga berbasis kredit berbunga. Entah namanya tunjangan atau asuransi, dana pensiun atau tabungan hari tua.
Bisakah kita menghindari riba, setidaknya debunya, ketika riba telah menggurita menjadi sistem ? 
Untuk bepergian pun, apalagi kalau melewati jalan tol, Anda otomatis terlibat dengan sistem riba – karena ongkos tol dan pajak jalan yang kita bayarkan mengandung riba, sebab investasinya berasal dari kredit perbankan. Membeli bahan bakar dan gas pun mengandung riba. Menggunakan jasa listrik dan telepon tidak bersih dari riba. Bahkan seluruh layanan sosial yang disediakan oleh pemerintah pun, dalam bentuk apa pun, sesungguhnya dibiayai dari utang berbunga dari perbankan.
Bukankah untuk menggaji Pegawai Negeri Sipil, berserta segala tunjangan dan dana pensiunnya, pun pemerintah mengandalkan APBN (Anggaran Pendapaan dan Belanja Negara) yang berasal dari utang berbunga dari perbankan?
Sedangkan riba mengakibatkan kesengsaraan bagi semua orang. Allah , subhanahu wa ta’ala, menyatakan riba menyebabkan manusia “menganiaya dan dianiaya”. Riba membuat beban kehidupan menjadi semakin tidak tertanggungkan, biaya dan harga apa pun menjadi berlipat ganda. Sekali lagi perhatikan kenyataan di sekeliling kita: belum lama di masa lalu setiap keluarga secara relatif mudah dapat memiliki tanah dan sebuah rumah yang layak. Tapi, ketika tanah-tanah mulai dikuasai oleh para bankir melalui pengembang-pengembang, memiliki rumah menjadi kemewahan.
Dengan dalih menolong masyarakat para bankir menciptakan Kredit Perumahan Rakyat (KPR). Apa akibatnya? Justru harga rumah semakin tak terjangkau. KPR yang semula ditujukan untuk rumah bertipe 70, harus diturunkan untuk tipe 60, lantas untuk tipe 45, lalu tipe 36, dan kini semakin kecil lagi untuk tipe 21. Itu pun hanya bisa dibeli oleh sedikit orang, karena harganya yang semakin mahal.
Juga untuk biaya kesehatan dan pendidikan. Lagi-lagi dengan dalih membantu masyarakat untuk “meringankan” biaya jasa sosial ini para rentenir menciptakan berbagai bentuk kredit, asuransi, tunjangan, dan sejeisnya, yang semuanya berbasis pada utang berbunga. Lagi-lagi akibatnya adalah justru biaya kesehatan dan pendidikan semakin tidak terjangkau. Sebab, selain membayar ongkos untuk jasa pendidikan dan kesehatan itu sendiri, masih harus ditambah dengan biaya bunganya. Dan jangan lupa bunga itu adalah bunga berganda, berlipat-lipat dengan berjalannya waktu.
Sistem perbankan memastikan riba sekecil apa pun menjadi berlipat ganda. Pelipatgandaan ini bukan saja terjadi secara linier, pada utang berbunga yang secara langsung dikenakan oleh perbankan pada kredit yang dikeluarkannya, tetapi efek rentetan yang terjadi pada setiap transaksi yang mengandung utang berbunga, yang ditanggung oleh seluruh masyarakat dalam bentuk beban hidup yang semakin mahal. Maka dalam Al Qur’an Allah , subhanahu wa ta’ala, melarang pemraktekan riba dengan sangat keras.
Riba mempengaruhi semua sektor ekonomi riil karena melibatkan unsur cost of money, disebut bunga atau tidak, yang juga mematikan sejumlah sektor riil ini karena hambatan “biaya uang” tersebut. Akibat lanjutnya adalah tertutupnya kesempatan jutaan lapangan pekerjaan. Dalam prakteknya pinjam-meminjam uang berbunga ini merupakan kegiatan sewa-menyewa uang. Sehingga masyarakat tidak terdorong menginvestasikan uangnya ke sektor produktif. Berapa juta lapangan pekerjaan yang tertutup dengan uang masyarakat yang disewakan kepada perbankan atau lembaga keuangan nonbank, dengan bunga katakanlah 15%/tahun, misalnya, dibandingkan dengan bila uang-uang tersebut diproduktifkan dalam kegiatan ekonomi riil melalui skema bagi hasil, misalnya?
Ambillah contoh keadaan saat ini ketika perbankan – disebut bank konvensional atau bank syariah – maupun turunannya, termasuk BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah) dan BMT (Baitul Mal wa Tamwil), yang tidak lain adalah skama kredit mikro, mengenakan bunga atau cost of money pada pinjaman sebesar 15% tersebut di atas, maka kegiatan usaha produktif yang memberikan keuntungan kurang dari 15% dianggap tidak layak. Apa akibatnya? Banyak lapangan kerja yang tertutup dan ekonomi yang tidak efisien karena tambahan biaya akibat riba.
Belum lagi ditambahkan beban riba berbentuk aneka rupa pajak, yang juga berlapis-lapis adanya, mulai dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan, bea dan cukai, sampai bea materai. Akibat lanjutnya adalah harga barang dan jasa yang tidak bisa lagi murah, karena pertama-tama harus ditambahkan dengan harga sewa uang atau modal yang dipakai dalam menghasilkan barang dan jasa tersebut, serta pajak-pajak yang dikenakan atas seluruh proses produksi itu, pada produknya sendiri, bahkan pada prose jual-belinya. Denyut ekonomi kita adalah denyut riba. Kita menyebutnya sebagai sistem kapitalisme.
Jadi, akar persoalan kita adalah riba. Tapi, solusi yang ditawarkan pun, adalah riba berikutnya!
Dan, boleh jadi ini akan yang mengagetkan Anda, bahwa seluruh rangkaian sistem riba ini dimulai dari isi dompet kita sendiri, yakni keberadaan uang kertas. Kenyataan bahwa uang kertas adalah riba akan kita bahas secara lebih rinci di belakang nanti. Berikut kita pahami dulu posisi riba di hadapan Allah, subhanahu wa ta’ala, dan RasulNya salallahualaihi wassalam.
Dosa Riba Sesudah Syirik
Kenyataan bahwa kita hidup di tengah samudra riba tidak boleh kita biarkan. Keterlibatan kita semua, sebagaimana Allah , subhanahu wa ta’ala, indikasikan dalam al Qur’an, adalah sebagai pelaku (menganiaya) sekaligus korban (dianiaya). Sistem riba adalah rantai kezaliman. Karena itu menjadi kewajiban setiap muslim untuk menghentikannya. Allah subhanahu wa ta’ala, mengancam hukuman yang berat bagi para pelaku riba. Dosa yang harus kita tanggung karena keterlibatan kita dengan riba adalah dosa terbesar kedua sesudah syirik. Rasulullah sallallahu’alaihi wassalam telah menegaskan bahwa kedudukan mereka yang terlibat dengan riba – langsung atau tidak langsung – yaitu 

“ yang membayarkan, yang menerima, yang mencatat, dan yang menyaksikannya” adalah sama 
(H.R. Muslim). 
Kita semua berdosa atasnya. 

Dan, ketahuilah, bahwa dosa karena riba ini tidaklah main-main.

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah serta Baihaqi bahwa Abu Hurairah, semoga Allah meridhoinya, mengatakan bahwa Rasulullah, salallahu alaihi wassalam, mengatakan: 
“ Riba terdiri atas 70 jenis yang berbeda-beda, yang paling ringan dosanya ialah setara dengan seorang lelaki bersetubuh dengan ibu kandungnya di Masjidil Haram. ” 

Dalam riwayat lain oleh Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah dikatakan Rasulullah, salallahu alaihi wassalam, menyatakan: 
“ Satu dirham riba, yang diterima oleh seorang lelaki dengan sepengetahuannya, lebih buruk dibanding berzina tiga puluh enam kali.”

Kalau dosa riba begitu besar, bagaimana hukuman bagi para pelakunya ? 
Kembali Abu Hurairah (HR Ahmad, Ibnu Majah) meriwayatkan Rasulullah, salallahu alaihi wassalam, yang bersabda: 

“ Pada malam aku naik ke surga aku mendatangi orang-orang yang perutnya sebesar rumah penuh dengan ular yang terlihat dari luar. Aku bertanya kepada Jibril siapa mereka dan dia menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba.” 

Riwayat lain dari Samurah bin Jundab mangabarkan bahwa Rasulullah, salallahu alaihi wassalam, mengatakan bahwa pemakan riba akan hidup dalam sungai darah.
Dalam hadis sahih dari Bukhari tersebut Rasul salallahu alaihi wassalam, mengatakan: 
“ Semalam aku bermimpi melihat dua lelaki mendatangiku dan membawaku ke tempat suci lalu dari sana kami melanjutkan perjalanan hingga ke sebatang sungai darah, di sana ada seorang lelaki berdiri di tengahnya dan di satu tepiannya berdiri seorang lelaki dengan batu-batu di tangannya. Lelaki yang berada di tengah sungai mencoba untuk keluar tetapi lelaki satunya melemparkan sebuah batu ke dalam mulutnya dan memaksanya kembali ke tempat semula. Setiap kali dia mencoba untuk keluar dari sungai tersebut setiap kali pula lelaki yang lain melemparkan sebuah batu ke dalam mulutnya yang memaksanya kembali ke tengah sungai. Aku bertanya: ‘Siapa orang ini?’ Aku diberi jawaban: ‘Orang yang berada di tengah sungai ialah orang yang memakan riba. ”

Mengapa semua berdosa dan dosanya begitu besar ?
Sudah dijelaskan sebelumnya riba menyebabkan manusia saling menganiaya dan menjadikan kehidupan kita tidak lagi sesuai dengan fitrah. Seorang dokter terpaksa mengenakan tarif yang sangat mahal kepada pasien, karena untuk menjadi seorang dokter dia harus membayar sangat mahal untuk pendidikannya. Biaya sekolah bulanan (SPP) tinggi karena tidak hanya dipakai untuk membiayai ongkos belajar-mengajar tetapi juga untuk mengembalikan kredit investasinya. Gedung dan peralatan rumah sakit pun dibiayai oleh para bankir dengan bunga berbunga. Pagawai negeri terpaksa korupsi karena gajinya tak mencukupi. Banyak kehidupan suami-istri tidak tentram akibat terlilit utang. Penagih utang (debt collector) menjadi profesi yang sangat dibutuhkan saat ini. Belakangan kita acap mendengar berita seorang ibu atau ayah yang melakukan bunuh diri akibat tidak tahan menanggung biaya hidup.
Itu sebabnya Allah , subhanahu wa ta’ala, mengancam para pelaku riba dengan hukuman “menghuni neraka, kekal di dalamnya” (QS: 2: 275). Orang-orang yang terlibat dengan riba, dan untuk saat sekarang itu berarti hampir semua orang, disebutkan oleh Allah , subhanahu wa ta’ala, sebagai “tidak dapat berdiri dengan tegak, melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan lantaran penyakit gila.” (QS: 2:276). Ya, betul sekali, “seperti kerasukan setan dan berpenyakit gila”, bukankah itu yang kita alami saat ini? Semua orang hidupnya gelisah, khawatir dengan masa depan, tidak berani menghadapi hidup, menjadi kikir dan bakhil serta enggan bersedekah, egois dan tidak peduli dengan orang lain, bahkan saling membunuh. Namun, justru karena itu pulalah, industri riba – asuransi, kredit, tunjangan pensiun, dan lain sebagainya semakin merajalela. Psikosis massal diperlukan bagi suburnya industri riba ini.
Sedemikian luas dan halusnya sistem riba ini melingkungi hidup kita, sampai-sampai kita tidak dapat membedakan lagi, mana yang riba dan mana yang bukan. Allah , subhanahu wa ta’ala, menyatakan bahwa mereka yang memakan riba itu bahkan telah menyatakan “riba sama dengan berdagang.” (QS: 2:278). Berbagai komoditas, mulai dari rumah sampai rice cooker, mobil sampai sepeda motor – baru maupun bekas – tidak lagi diperdagangkan secara halal, tetapi sekadar dijadikan alat untuk bermain riba. Bahkan, alat tukar yang kita gunakan pun, uang kertas bernama rupiah atau dolar atau ringgit, adalah instrumen riba.
Tetapi bagi kita, orang-orang beriman, bukan tidak ada jalan keluarnya. Allah , subhanahu wa ta’ala, mengharamkan riba, tapi menghalalkan perdagangan. Lagi pula, Allah , subhanahu wa ta’ala, menyatakan bahwa pada akhirnya (hasil) riba akan dimusnahkannya, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (QS:2:276). Harta riba itu bisa jadi dimusnahkan secara keseluruhan dari tangan pemiliknya ataupun dihilangkan berkah dari harta tersebut sehingga pemiliknya tidak dapat mengambil manfaatnya. Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman: “Apa yg kalian datangkan dari riba guna menambah harta manusia maka sebenarnya riba itu tidak menambah harta di sisi Allah.” 
Rasul sallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: “Tidak ada seorang pun yang banyak terlibat riba kecuali akhir dari perkaranya adalah harta yang menjadi sedikit.”
Begitulah riba pada akhirnya harus musnah. Kita mentaati perintah untuk meninggalkannya atau membangkangnya Allah , subhanahu wa ta’ala, memastikan keruntuhannya. Dalam bahasa yang sangat tegas Allah subhanahu wa ta’ala, dan Rasul-Nya menyatakan perang atas riba (QS: 2:279). Dan peperangan atas sistem riba ini telah mulai kita lihat wujudnya dalam peristiwa-peristiwa yang kita kenali sebagai “krisis finansial” atau “krisis moneter”, yang kini terjadi di mana-mana. 
sumber: Islampos

“Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “MEREKA SEMUA SAMA.” 
(Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598).



 Satu dirham yang didapatkan dari transaksi riba lantas dimanfaatkan oleh seseorang dalam keadaan dia mengetahui bahwa itu berasal dari riba dosanya lebih ngeri dari pada berzina sebanyak tiga puluh enam kali” 
[HR Ahmad no 22008]


BACA JUGA ...

Bank —> Pangkal & Pintu Riba Saat Ini


DALAM satu haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah sallallahu’alaihi wassalam bersabda,

“Akan datang suatu masa ketika semua orang memakan riba. Mereka yang tidak mau makan riba pun pasti terkena debunya.” 

Masa itu adalah hari ini, dan itu artinya kita semua tengah terlibat dengan riba. Sebab, di masa ini, seluruh tata kehidupan kita telah bercampur dengan riba hingga kita tak bisa menghindarinya. Riba telah menjadi cara hidup kita. Perhatikanlah bagaimana kita menjalani kehidupan sehari-hari saat ini.
Mulai dari ingin memiliki sebuah rumah, kendaraan, bahkan peralatan rumah tangga (tivi, perabot elektronik, mebel, dsb), pada umumnya, kita membayarnya dengan kredit berbunga. Bahkan membayar kuliah pun, setidaknya mempunyai irisan dengan riba. Kesimpulannya, sekarang kita semua sudah dikepung oleh riba dari segala penjuru.
Ayat pertama tentang riba—Surat Ruum 39—turun di Mekkah.
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
Ayat ini sebagai pengondisian untuk umat Islam agar siap mental untuk menghadapi larangan riba di kemudian hari.
Pada periode Madinah, barulah ditegaskan larangan atau haramnya riba oleh Allah SWT dalam Surat Ali Imron 130.
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.”
Tentang sebab turunnya ayat di atas, Mujahid mengatakan, “Orang-orang Arab sering mengadakan transaksi jual beli tidak tunai. Jika jatuh tempo sudah tiba dan pihak yang berhutang belum mampu melunasi maka nanti ada penundaan waktu pembayaran dengan kompensasi jumlah uang yang harus dibayarkan juga menjadi bertambah maka alloh menurunkan firman-Nya… (ayat di atas).” (al Jami’ li Ahkamil Qur’an, 4/199).
Barulah dikukuhkan dalam Surat Al-Baqarah 278-279.
“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok harta kalian; kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. ” (Al-Baqarah: 278-279)

Pangkal dan pintu riba kita hari ini adalah bank.
Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi mengatakan, “Ketahuilah wahai orang yang beriman bahwa riba yang dipraktekkan oleh bank konvensional pada saat ini itu lebih zalim dan lebih besar dosanya dari pada jahiliah yang Allah haramkan dalam ayat ini dan beberapa ayat lain di surat al Baqarah. Hal ini disebabkan riba dalam bank itu buatan orang-orang Yahudi sedangkan Yahudi adalah orang yang tidak punya kasih sayang dan belas kasihan terhadap selain mereka.
Buktinya jika bank memberi hutang kepada orang lain sebanyak seribu real maka seketika itu pula bank menetapkan bahwa kewajiban orang tersebut adalah seribu seratus real. Jika orang tersebut tidak bisa membayar tepat pada waktunya maka jumlah total yang harus dibayarkan menjadi bertambah sehingga bisa berlipat-lipat dari jumlah hutang sebenarnya.
Bandingkan dengan riba jahiliah. Pada masa jahiliah nominal hutang tidak akan bertambah sedikit pun jika pihak yang berhutang bisa melunasi hutangnya pada saat jatuh tempo. Dalam riba jahiliah hutang akan berbunga atau beranak jika pihak yang berhutang tidak bisa melunasi hutangnya tepat pada saat jatuh tempo lalu mendapatkan penangguhan waktu pembayaran.
Boleh jadi ada orang yang berpandangan bahwa riba yang tidak berlipat ganda itu diperbolehkan karena salah paham dengan ayat yang menyatakan ‘janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda’. Jangan pernah terpikir demikian karena hal itu sama sekali tidak benar. Ayat di atas cuma menceritakan praktik para rentenir pada masa jahiliah lalu Allah cela mereka karena ulah tersebut.
Sedangkan setelah Allah mengharamkan riba maka semua bentuk riba Allah haramkan tanpa terkecuali, tidak ada beda antara riba dalam jumlah banyak ataupun dalam jumlah yang sedikit. Perhatikan sabda Rasulullah yang menegaskan hal ini,
“Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan mengetahui bahwa itu adalah uang riba, dosanya lebih besar daripada berzina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dari Abdulloh bin Hanzholah dan dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih al Jami’, no. 3375)” [Nida-atur Rahman li Ahli Iman hal 41]
Dalam hadits di atas dengan tegas Nabi mengatakan bahwa uang riba itu haram meski sangat sedikit yang Nabi ilustrasikan dengan satu dirham. Bahkan meski sedikit, Nabi katakan lebih besar dosanya jika dibandingkan dengan berzina bahkan meski berulang kali. Jadi hadits tersebut menunjukkan bahwa uang riba atau bunga itu tidak ada bedanya baik sedikit apalagi banyak.
Ayat ini berada di antara ayat-ayat yang membicarakan perang Uhud. Sebabnya menurut penjelasan Imam Qurthubi adalah karena dosa riba adalah satu-satunya dosa yang mendapatkan maklumat perang dari Allah sebagaimana dalam QS. al Baqarah [2]: 289. Sedangkan perang itu identik dengan pembunuhan. Sehingga seakan-akan Allah hendak mengatakan bahwa jika kalian tidak meninggalkan riba maka kalian akan kalah perang dan kalian akan terbunuh. Oleh karena itu Allah perintahkan kaum muslimin untuk meninggalkan riba yang masih dilakukan banyak orang saat itu (lihat Jam’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
Kemudian Allah ta’ala berfirman, ‘Bertakwalah kamu kepada Allah’ yaitu terkait dengan harta riba dengan cara tidak memakannya.
Al Falah/keberuntungan dalam bahasa Arab adalah bermakna mendapatkan yang diinginkan dan terhindar dari yang dikhawatirkan. Oleh karena itu keberuntungan dalam pandangan seorang muslim adalah masuk surga dan terhindar dari neraka. Surga adalah keinginan setiap muslim dan neraka adalah hal yang sangat dia takuti.
Ayat ini menunjukkan bahwa keberuntungan itu akan didapatkan oleh orang yang bertakwa dan salah satu bukti takwa adalah menghindari riba.
Hal ini menunjukkan bahwa jika kadar takwa seseorang itu berkurang maka kadar keberuntungan yang akan di dapatkan juga akan turut berkurang.
Di antara bukti bahwa meninggalkan riba itu menyebabkan mendapatkan keberuntungan adalah kisah seorang sahabat yang bernama ‘Amr bin Uqois sebagaimana dalam hadist berikut ini.
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya ‘Amr bin ‘Uqoisy sering melakukan transaksi riba di masa jahiliah. Dia tidak ingin masuk Islam sehingga mengambil semua harta ribanya. Ketika perang Uhud dia bertanya-tanya, “Di manakah anak-anak pamanku?” “Di Uhud”, jawab banyak orang. “Di manakah fulan?”, tanyanya lagi. “Dia juga berada di Uhud”, banyak orang menjawab.” Di mana juga fulan berada?”, tanyanya untuk ketiga kalinya. “Dia juga di Uhud”, jawab banyak orang-orang. Akhirnya dia memakai baju besinya dan menunggang kudanya menuju arah pasukan kaum muslimin yang bergerak ke arah Uhud. Setelah dilihat kaum muslimin, mereka berkata, “Menjauhlah kamu wahai Amr!” Abu Amr mengatakan, “Sungguh aku sudah beriman.” Akhirnya beliau berperang hingga terluka lalu digotong ke tempat keluarganya dalam kondisi terluka. Saat itu datanglah Sa’ad bin Muadz, menemui saudara perempuannya lalu memintanya agar menanyai Abu Amr tentang motivasinya mengikuti perang Uhud apakah karena fanatisme kesukuan ataukah karena membela Allah dan rasul-Nya. Abu Amr mengatakan, “Bahkan karena membela Allah dan Rasul-Nya.” Beliau lantas meninggal dan masuk surga padahal beliau belum pernah melaksanakan shalat satu kali pun. (HR. Abu Daud, Hakim dan Baihaqi serta dinilai hasan oleh al Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud no. 2212).
Ad Dainuri bercerita bahwa Abu Hurairah pernah bertanya kepada banyak orang yang ada di dekat beliau, “Siapakah seorang yang masuk surga padahal sama sekali belum pernah shalat?” Orang-orang pun hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas mengatakan, “Saudara bani Abdul Asyhal.”
Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan ada orang yang menanyakan perihal Abu ‘Amr kepada Rasulullah, beliau lantas bersabda, “Sungguh dia termasuk penghuni surga.” (Tafsir al Qosimi, 2/460).
sumber: islampos.com


“Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “MEREKA SEMUA SAMA.” 
(Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598).

” Satu dirham yang didapatkan dari transaksi riba lantas dimanfaatkan oleh seseorang dalam keadaan dia mengetahui bahwa itu berasal dari riba dosanya lebih ngeri dari pada berzina sebanyak tiga puluh enam kali” 
[HR Ahmad no 22008]




BACA JUGA ...


Riba ada Di Sekitar Kita. Berhati-hatilah !


Kredit Motor ... 2 Thn ?
Kredit Mobil ... 5 Thn ?
Kredit Rumah ... 18 Thn?
Kredit Laptop ... 1 THn ?
Kredit Modal Usaha ... 2 Thn ?


Riba - Dosa Besar menurut Al Quran dan Hadist

Selama itu pula DOSA Dicatat
Punya ini itu dari hasil RIBA selama itu pula DOSA Dicatat karena menikmati dari hasilnya




Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian

“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba)maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok harta kalian; kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. ” (Al-Baqarah: 278-279)




“ Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya. ” Dan Beliau bersabda, “MEREKA SEMUA SAMA.” 
(Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598).


Dari Hanzhalah Radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, 
 Satu dirham yang didapatkan dari transaksi riba lantas dimanfaatkan oleh seseorang dalam keadaan dia mengetahui bahwa itu berasal dari riba dosanya lebih ngeri dari pada berzina sebanyak tiga puluh enam kali ”   [HR Ahmad no 22008]

“ Riba terdiri atas 70 jenis yang berbeda-beda, yang paling ringan dosanya ialah setara dengan seorang lelaki bersetubuh dengan ibu kandungnya di Masjidil Haram. ” [HR. Ibnu Majah serta Baihaqi]




Kehidupan terus berputar. Sama seperti berputarnya bumi dan bulan mengitari matahari. Demikian juga kehidupan manusia. Terus menerus setiap hari sepanjang hidupnya berubah. Dari  bayi menjadi anak-anak, dari masa anak-anak menjadi dewasa. Hanya satu yang seharusnya  tidak boleh berubah, yaitu keistiqomahan dalam menaati segala aturan Alloh berupa perintah dan larangan.
Sunatulloh, Alloh menetapkan taqdir manusia ada yang kaya dan miskin. Ada yang jadi konglomerat, namun ada juga kaum melarat. Ada yang serba berkecukupan, ada juga yang selalu kekurangan. Satu hal yang harus dipahami bahwa rizqi termasuk harta benda, semata dari Alloh asalnya. Bukan dari pemerintah, majikan, pengusaha maupun yang lainnya. Karena Allohlah sang pemberi, maka tak akan pernah mempertanyakan pada manusia, seberapa banyak harta yang dimiliki. Tidak ada hisab atas miskin kayanya seseorang. Alloh hanya akan meminta pertanggungjawaban tentang darimana seseorang mendapatkan harta dan untuk apa harta tersebut digunakan. Apakah sesuai panduan dalam AlQuran dan Assunah atau justru bertentangan.
Nabi SAW bersabda, 
Tidak bergeser kaki seorang hamba sehingga ia akan ditanya tentang empat perkara (yaitu):(1) Tentang umurnya untuk apa ia habiskan? (2) Tentang ilmunya untuk apa ia amalkan? (3)Tentang hartanya darimana ia dapatkan dan kemana ia belanjakan? dan  (4) Tentang badannya untuk apa ia gunakan ? "
(HR.At-Tirmidzî)

Kehidupan di era kapitalistik seperti sekarang ini, kadang membuat silau mereka yang tidak kuat menggenggam keimanan. Apalagi ditambah gaya hidup hedonis yang setiap hari disuguhkan di layar televisi. Kehidupan super mewah kalangan artis dan jet set yang tidak henti-hentinya diberitakan dalam infotainment, sedikit banyak telah mempengaruhi pemikiran orang untuk bisa merasakan “nikmatnya” hidup seperti mereka. Mendorong orang untuk memiliki harta sebanyak mungkin. Menjadikan orang ingin kaya juga dan merasakan hidup wah serta bergelimpang harta. Mengubah mindset bahwa bahagia itu hanya jika banyak harta. Ingin penuh harta agar semua kebutuhan dan keinginan bisa terpuaskan. Hingga akhirnya segala cara ditempuh untuk mendapatkan harta kekayaan. Tak peduli lagi halal haram. Benar salah, boleh atau tidak menurut aturan Sang Pemilik Jiwa. Bahkan kemudian muncul slogan menyesatkan, ” muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk syurga.”
Tak heran, bila angka kriminal di masyarakat semakin meningkat dari waktu ke waktu. Banyak bermunculan manusia-manusia yang  menghalalkan segala cara untuk memperoleh harta. Mulai dari koruptor, pencuri, pelacur, rentenir, perampok, pengedar narkoba dan lain-lain perbuatan terlarang agama.
Wakabareskrim, Irjen Pol Saud Usman memaparkan bahwa setiap satu menit dan 31 detik terjadi satu kejahatan di Indonesia selama tahun 2012 dengan jumlah kejahatan di tahun 2012, sampai Nopember 2012 mencapai 316.500. ( Suara Pembaruan, (26/12/2012)).
Kejahatan yang menonjol di tahun 2012 yakni kasus perampokan. Aksi pencurian dan kekerasan ini makin merajalela yaitu sebanyak 1.094 kasus, meningkat 159 kasus atau 17,00 persen dibanding tahun 2011 yang berjumlah 925 kasus. (Wartakotalive.com, 02/01/2013)
Berdasarkan data-data di atas, tampak perilaku bahwa kejahatan ujungnya adalah untuk memperoleh harta. Memiliki harta dengan cara instan meski harus menentang perintah Tuhannya. Benar sekali ucapan Rosulullah, 

” Sesungguhnya bagi tiap-tiap umat itu ada fitnah, dan sesungguhnya fitnah bagi umatku adalah  harta” (HR At-Tirmidzî, no. 2336).

Berbagai macam cara “modern” memperoleh harta kekayaan pun bermunculan di zaman sekarang. Cara-cara yang seolah elegan padahal mengandung racun mematikan. Cara yang terlihat “pintar” padahal hakikatnya dosa. Cara yang kebanyakan dilakukan oleh orang  yang sesungguhnya telah “berpunya” tapi hawa nafsunya mendominasi untuk terus memupuk materi. Cara yang sebagian besar ditempuh oleh orang yang sebenarnya berpendidikan. Mulai dari berbagai kredit motor, mobil, perabotan dan rumah. Perusahaan leasing motor dan mobil bermunculan bak jamur di musim penghujan. Uang muka yang rendah, bunga ringan dan cicilan berjangka panjang telah menjadi daya tarik sendiri bagi masyarakat. Mereka yang sebenarnya sudah punya kendaraan dirangsang untuk beli lagi. Sudah punya satu pingin dua, demikian seterusnya. Begitu pula dengan kredit pemilikan rumah baik melalui bank konvensional maupun bank syariah. Banyak yang sebenarnya sudah punya rumah, tapi tidak cukup satu saja. Masih ingin lagi dan lagi.
Belum lagi penawaran kredit uang langsung tunai, dengan bunga rendah. Juga adanya produk kartu kredit, menjadikan akses menambah harta dengan berhutang disertai bunga tertentu semakin mudah dilakukan. Hutang dalam sistem kapitalis telah menjadi hal teramat biasa. Hutang tak lagi karena kepepet untuk memenuhi kebutuhan pokok yang menentukan hidup matinya seseorang. Hutang telah menjadi bagian dari life style bahkan untuk orang kaya sekalipun. Masyarakat semakin terbuai dan terhipnotis untuk semakin  memperkaya diri dan lupa rambu-rambu agama. Merasa bangga dan terhormat bisa memiliki harta walau dari hasil hutang ke bank/rentenir. Gengsi bila tak punya apa-apa dan takut ketahuan miskin. Seolah beranggapan bahwa ketika hampir semua orang terlibat “bunga bank”, maka hal itu menjadi sesuatu yang benar. Sama sekali bukan kesalahan dan berdosa. Lupa dengan seruan Alloh sebagai berikut,

” Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” 
(Al-Baqarah: 275)

Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan termasuk dosa besar, dengan dasar 
Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS Al-Baqarah: 275).
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah.” (QS Al-Baqarah: 276).

Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, 
“ Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau, “(Pertama) melakukan kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba, (kelima) makan harta anak yatim, (keenam) melarikan diri pada hari pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina perempuan baik-baik yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ‘Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257).
================================================================================

... MENJADI SAKSINYA SAJA SUDAH DOSA. 
APALAGI SEBAGAI PELAKUNYA ...

Dari Jabir ra, ia berkata. 
“ Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “MEREKA SEMUA SAMA. ” 
(Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598).

Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, 
“ Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya. ” 
(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37).
================================================================================

DAN JIKA ANDA MEMILIKI HARTA YANG AWALNYA BERASAL DARI RIBA BERIKUT HADISTNYA
(HASIL KREDIT LUNAS MOTOR, MOBIL, RUMAH, DSB ... SEMUA ITU AWALNYA BERASAL DARI RIBA)


Dari Hanzhalah Radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, 
Satu dirham yang didapatkan dari transaksi riba lantas dimanfaatkan oleh seseorang dalam keadaan dia mengetahui bahwa itu berasal dari riba dosanya lebih ngeri dari pada berzina sebanyak tiga puluh enam kali” 
[HR Ahmad no 22008]
================================================================================

Dengan berbagai dalil  tersebut di atas lebih dari cukup kiranya untuk umat Islam tidak terjebak riba dengan berbagai ” bungkus” dan “kemasan”  indah menipu mata. Saatnya cinta perlu pembuktian. Jika benar cinta Alloh, maka akan menaatiNya apapun resiko dan konsekuensi yang dihadapi sekalipun kemiskinan di hadapan mata. Bila betul hanya takut pada Alloh, pasti akan mengikatkan hati, pemikiran, ucapan dan perilaku hanya pada aturan Alloh. Istiqomah menggenggam hukum syara.
Saatnya evaluasi diri. Jangan sampai diri termasuk orang-orang yang dengan sadar memilih terlibat aktif dalam ribawi. Jangan pernah meremehkan sekecil apapun usaha maksimal kita untuk terlepas dari riba. Ada Roqib Atid yang tidak akan pernah keliru menulis catatan amal tiap individu. Tentu berbeda catatannya antara orang-orang yang memilih berhutang ke bank dengan yang tidak. Pasti berbeda penilaian Alloh, antara orang-orang yang lebih memilih sabar hidup hanya bisa jadi kontraktor alias penyewa rumah, dengan mereka yang memilih beli rumah dengan cara KPR yang nyata-nyata bathil. Sudah tentu juga berbeda antara mereka yang lebih memilih kemana-mana naik sepeda ontel bahkan jalan kaki dengan mereka yang berkendaraan ria dari hasil kredit riba/leasing. Pasti berbeda, antara mereka yang sabar atas kemiskinannya, dengan mereka yang melakukan dalih pembenaran atas pilihan perbuatan ribawi dan “menyalahkan saudara sesama muslimnya” yang tidak mau menolong saat saudaranya dalam kemiskinan. Tentu berbeda, antara mereka yang lebih memilih mengayomi anak istri di gubug reot daripada di rumah hasil kredit ke bank. Amat pasti berbeda, antara mereka yang memberi makan anak istri dengan menjadi kuli, daripada mereka yang menjadi pungli. Sebab, dosa sekecil apapun ternyata adalah pintu masuk bagi dosa / maksiat lain yang mungkin lebih besar bila tak segera bertobat.
Bila rasa malu adalah karena Alloh, maka akan menjadi bagian yang melekat kuat dan menyatu dalam aliran darah manusia. Ia tak mungkin akan memilih jalan dosa yang bertentangan dengan perintah Alloh, termasuk dalam mendapatkan harta. Mungkin manusia lain tak tahu darimana harta kita diperoleh, tapi malu lah pada Alloh yang Maha Melihat. Apalagi bagi aktifis dakwah, atau mereka yang rutin mengkaji kitab. Harus lebih hati-hati dan istiqomah dengan ilmu yang didapat.
Tidak lucu dan sangat aneh rasanya, aktifitasnya adalah amar maruf nahi munkar, dengan lantang menyerukan penerapan syariat Islam saat turun ke jalan, kala mengikuti konferensi atau muktamar, tapi harta yang dipunyai diperoleh dengan cara terlarang. Misalnya dari hasil kerja di lembaga batil seperti bank atau asuransi yang dipahami oleh kelompoknya sebagai sesuatu yang haram. Atau bahkan rumah tempat tinggalnya diperoleh melalui KPR bank. Kendaraan yang digunakan untuk berdakwah kesana kemari dari hasil aqad bathil. Sama saja dengan Jarkoni, atawa bisa berujar gak bisa melakoni. Gak berbeda dengan Nato alias no action talk only.

Benar sekali sabda rosulullah, 
“Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba)nya,” 
(HR Ibnu Majah, hadits No.2278 dan Sunan Abu Dawud, hadits No.3331; dari Abu Hurairah).

Dari hadis di atas, semoga kala masa itu tiba, umat Islam hanya memilih terkena debunya saja. Bukan memilih sebagai pemakan riba. Karena pasti tidak sama antara menjadi pelaku aktif dengan “korban” yang tidak bisa menghindari debu yang bebas berterbangan. Sama ketika kita bepergian ke luar rumah, debu yang menempel datang dengan sendirinya. Tak kuasa ditolak. Insya Alloh tidak ada hisab atas debu yang mengenai kita. Hisab adalah atas untuk kepentingan apa kita bepergian keluar rumah. Debu masih bisa dibersihkan. Masih bisa dihindari agar tidak terlalu banyak melekat di kulit dengan penutup aurat sempurna. Wallohu’alam.
Yang pasti selama manusia masih hidup pintu taubat selalu terbuka. Yang penting selalu maksimal istiqomah menetapi kebenaran, senantiasa mengikatkan hati, lisan, pikiran dan perbuatan pada hukum Alloh. Saatnya Cinta pada Alloh perlu pembuktian.
sumber: islampos.com


RUMAH LUNAS TAPI HASIL DARI RIBA
MOTOR LUNAS TAPI HASIL DARI RIBA
MOBIL LUNAS TAPI HASIL DARI RIBA
SEMOGA KITA BISA SALING INTROPEKSI DIRI DAN SALING MENGINGATKAN

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279).

“ Wahai orang-orang yang beriman ! Makanlah dari rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya. ” (QS. Al Baqarah: 172)

" Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik. dan Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman sebagaimana yang diperintahkan kepada para rosul. beliau membaca, " Wahai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." dan membaca, "Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu." kemudian beliau menyebutkan seseorang yang bepergian jauh, kucel dan acak-acakan, mengetadahkan kedua tangannya ke langit dan berkata, "Ya Robb, ya Robb." sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan memakan barang yang haram, Bagaimana mungkin akan dikabulkan ?!"  (HR Muslim)

Doa dan Sholatpun tidak diterima, karna darah berisi barang haram dari yang berhubungan dengan RIBA

Hassan r. a berkata : 
“ Kalau sholat kamu itu tidak dapat menahan kamu dari melakukan perbuatan mungkar dan keji, maka sesungguhnya kamu dianggap orang yang tidak mengerjakan sholat. Dan pada hari kiamat nanti sholatmu itu akan dilemparkan semula ke arah mukamu seperti satu bungkusan kain tebal yang buruk.” 
.
Imam Hasan al-Bashri rahimahullâh pernah mengatakan: 
“ Wahai, anak manusia. Shalat adalah perkara yang dapat menghalangimu dari maksiat dan kemungkaran. Jika shalat tidak menghalangimu dari kemaksiatan dan kemungkaran, maka hakikatnya engkau belum shalat ”.


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ;
“ Jika seorang beribadah maka Iblis berkata, LIHATLAH dari mana SUMBER Makanannya, kalau ternyata SUMBER makanannya adalah dari yang HARAM maka biarkan saja dia beribadah dan tidak usah repot-repot menggodanya karena dia sudah memperingan tugas kalian (teman-teman iblis/syetan). ”

(HR.Imam Al Baihaqi)

“Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “MEREKA SEMUA SAMA.” 
(Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598).

” Satu dirham yang didapatkan dari transaksi riba lantas dimanfaatkan oleh seseorang dalam keadaan dia mengetahui bahwa itu berasal dari riba dosanya lebih ngeri dari pada berzina sebanyak tiga puluh enam kali” 
[HR Ahmad no 22008]

“ Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya. ”  (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37).

1400 tahun lebih yang lalu Al Quran sudah tahu bhw manusia akan berusaha mencari dalih/alasan tentang riba ... bahwa mereka yang memakan riba itu bahkan telah menyatakan “ riba sama dengan berdagang.” (QS: 2:278). 



BACA JUGA ...

BOOKMARK & SHARE

Popular Posts

.

.
hadist, panduan, pegangan, amalan

*** Promote Your Business to Worldwide ***