رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ
وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
" Yaa Rabbi, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang
yg tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami perkenankanlah doa kami " (QS.Ibrahim:40)
TIGA MASALAH
PENTING TENTANG SHALAT
Oleh : Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz
Oleh : Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz
RISALAH PERTAMA
TATA CARA SHALAT NABI
MUHAMMAD
Segala puji hanya milik
Allah semata, shala-wat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada hamba dan
utusanNya, yaitu Nabi Muhammad, keluarga dan para shahabatnya. Amma
ba`du:
Berikut ini adalah
uraian singkat tentang sifat (tata cara) shalat Nabi Muhammad shallallahu
'alaihi wasallam . Penulis ingin menyajikannya kepada setiap
muslim, baik laki-laki ataupun perempuan, agar siapa saja yang membaca-Nya dapat
bersungguh-sungguh dalam mencontoh (berqudwah) kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam. di dalam masalah shalat, sebagaimana sabda beliau:
"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat." (HR. Al-Bukhari).
Kepada para pembaca, berikut ini
uraiannya:
1. Menyempurnakan wudlu;
(Seseorang yang yang
hendak melakukan shalat) hendaknya berwudlu sebagaimana yang diperintahkan
Allah; sebagai peng-amalan terhadap firmanNya:
"Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak melakukan shalat, maka cucilah
muka kalian, kedua tangan kalian hingga siku, dan usaplah kepala kalian, dan
(cucilah) kedua kaki kalian hingga kedua mata kaki..." (Al-Ma'idah: 6).
dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
"Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan shadaqah dari penipuan." (HR. Muslim ).
Dan sabdanya kepada orang yang tidak betul
shalatnya:
"Apabila kamu hendak melakukan shalat, maka sempurnakanlah wudhu".
2. Menghadap ke kiblat:
Yaitu Ka`bah, di mana
saja ia berada dengan seluruh tubuhnya (secara sempurna), sambil berniat di
dalam hatinya untuk melakukan shalat sesuai yang ia inginkan, apakah shalat
wajib atau shalat sunnah, tanpa mengucapkan niat tersebut dengan lisannya,
karena mengucapkan niat dengan lisan itu tidak dibenarkan (oleh syara`), bahkan
hal tersebut merupakan perbuatan bid`ah. Sebab Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah melafadzkan niat begitu juga para
sahabat. Disunnahkan meletakkan sutrah (pembatas) baik sebagai
imam atau shalat sendirian karena demikian itu termasuk sunnah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam.
Shalat harus menghadap
kiblat sebab tidak sah shalat seseorang jika tidak menghadap kiblat kecuali
dalam kondisi tertentu yang telah banyak dijelaskan dalam kitab-kitab fikih.
3. Takbiratul ihram dengan mengangkat ke-dua tangan hingga sejajar dengan pundak
sambil mengucap Allahu Akbar lalu mengarahkan pandangan ke tempat sujud.
4. Mengangkat kedua tangan di saat bertak-bir
hingga sejajar dengan kedua pundak
atau sejajar dengan kedua telinganya.
atau sejajar dengan kedua telinganya.
5. Meletakkan kedua
tangan di atas dadanya,
Yaitu dengan meletakkan
tangan kanan pada punggung tangan kiri, atau pada pergelangan tangan kiri, atau
pada lengan tangan kiri, karena hal tersebut ada haditsnya, (seperti) hadits
yang bersumber dari Wa'il bin Hujr dan Qubaishah bin Hulb Al-Tha'iy yang ia
riwaratkan dari ayahnya radhiyallahu 'anhu.
6. Disunnahkan membaca do'a istiftah:
"Ya Allah,
jauhkanlah antaraku dengan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau telah
menjauhkan antara timur dan barat; Ya Allah, sucikanlah aku dari
kesalahan-kesalahanku seba-gaimana pakaian putih disucikan dari segala kotoran;
Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesa-lahan-kesalahanku dengan air, es dan salju" (Muttafaq
`alaih yang bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam).
Boleh juga membaca do'a yang lain sebagai
gantinya, seperti:
" Maha Suci Engkau, Ya Allah, dengan segala puji bagiMu, Maha Mulia NamaMu, dan Maha Tinggi kemuliaanMu, tiada Tuhan yang yang berhak disembah selain Engkau".
Karena do'a ini ada
dalil shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan diperbolehkan membaca
do'a istiftah lain dari keduanya yang ada dalil shahihnya dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Namun yang lebih afdhal (utama)
adalah pada suatu saat membaca do`a istiftah yang pertama dan pada saat yang
lain membaca yang kedua atau yang lainnya yang ada dalil shahihnya, karena yang
demikian itu lebih sempurna dalam ber-ittiba` (mencontoh
Rasu-lullah shallallahu 'alaihi wasallam).
Kemudian membaca:
"Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk " "Dan dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang".
Dan dilanjutkan dengan membaca Surat Al-Fatihah,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Tidak syah shalat seseorang yang tidak membaca
Kemudian membaca
ayat-ayat Al-Qur'an, dan diutamakan bacaan dalam shalat Zhuhur, Ashar dan Isya'
dari surat-surat yang agak panjang, dan pada shalat Shubuh surat-surat yang
panjang, sedangkan pada shalat Maghrib surat-surat pendek dan pada suatu saat
boleh juga membaca surah yang panjang atau setengah panjang, maksudnya pada shalat
Maghrib, sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam. Dan pada shalat Ashar hendaknya membaca surat yang lebih pendek dari pada bacaan
shalat dzuhur
7. Ruku` sambil
bertakbir dan mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua pun-dak atau
kedua telinga, dengan menjadikan kepala sejajar dengan punggung dan
meletakkan kedua tangan pada kedua lutut dengan jari-jari terbuka sambil thuma'ninah di
saat ruku` dan mengucapkan:
"Maha suci RabbKu Yang Maha Agung"
Dan lebih diutamakan membacanya tiga kali atau
lebih, dan di samping itu dianjurkan pula membaca:
"Maha Suci Engkau, Wahai Rabb kami dan dengan segala puji bagiMu, Ya Allah, ampunilah aku".
8. Mengangkat kepala dari ruku',
sambil mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua pundak atau kedua telinga
sambil membaca:
sambil mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua pundak atau kedua telinga
sambil membaca:
"Semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya".
baik sebagai imam atau shalat sendirian. Lalu di
saat berdiri mengucapkan:
"Wahai Rabb kami, milikMu segala pujian sebanyak-banyaknya lagi baik dan penuh berkah, sepenuh langit dan bumi, sepenuh apa yang ada di antara keduanya dan sepenuh apa saja yang Engkau kehendaki kelak".
Dan jika ditambah lagi sesudah itu dengan do'a:
" Pemilik puja dan puji, ucapan
yang paling haq yang diucapkan oleh seorang hamba; dan semua kami adalah hamba
bagiMu; Ya Allah, tiada penghalang terhadap apa yang Engkau berikan, dan tiada
yang dapat memberikan terhadap apa yang Engkau halangi, tiada berguna bagi
orang yang memiliki kemuliaan, karena dariMu lah kemuliaan".
Maka hal tersebut baik, karena yang demikian itu
ada dasarnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam beberapa hadits
shahih.
Adapun jika ia sebagai ma'mum, maka di saat
mengangkat kepala membaca:
"Wahai Rabb kami, milikMu lah segala puji-an"... hingga akhir bacaan di atas.
Dan dianjurkan
meletakkan kedua tangannya di atas dadanya, sebagaimana yang ia lakukan pada
saat berdiri sebelum ruku`, karena keshahihan hadits dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam yang menunjukkan demikian, yaitu hadits yang bersumber dari
Wa'il bin Hujr dan Sahal bin Sa`ad radhiyallahu 'anhu.
9. Sujud sambil
bertakbir dengan meletak-kan kedua lutut sebelum kedua tangan, jika hal tersebut
memungkinkan. Dan jika tidak, maka men-dahulukan kedua tangan sebelum kedua lutut,
sambil menghadapkan jari-jari kedua telapak kaki dan jari jari kedua telapak
tangan ke qiblat, dengan posisi jari-jari telapak tangan rapat. Dan sujud di
atas tujuh anggota tubuh, yaitu dahi bersama hidung, kedua telapak tangan,
kedua lutut dan ujung jari kedua telapak kaki, sambil membaca do'a:
"Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi." tiga kali atau lebih:
Dianjurkan pula membaca:
"Maha Suci Engkau, Ya Allah Rabb kami, dengan segala puji bagiMu. Ya Allah ampunilah aku ".
Dan memperbanyak do'a, sebagaimana sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam:
"Adapun ruku`, maka agungkanlah Tuhan pada saat itu, dan adapun sujud, maka bersungguh-sungguhlah kalian dalam berdo'a, sebab layak untuk diterima bagi kalian."
Dan juga sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam:
" Posisi terdekat seorang hamba dari Tuhannya adalah di saat ia sedang sujud, maka dari itu perbanyaklah do'a."
Kedua hadis tersebut
diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahihnya.
Hendaknya (diwaktu
sujud) ia memohon kepa-da Tuhannya kebaikan dunia dan akhirat untuk dirinya dan
untuk orang lain dari kaum muslimin, baik itu dalam shalat wajib maupun dalam
shalat sunnah. Dan (diwaktu sujud) hendaknya mereng-gangkan kedua lengan tangan
dari kedua lambung dan perut dari kedua pahanya sambil mengangkat kedua
hasta/lengah tangannya dari tanah, sebab Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
" Tegak luruslah kalian di saat sujud dan jangan ada seorang dari kalian meletakkan kedua lengan tangannya seperti anjing meletakkan kedua lengan tangannya." (Muttafaq `alaih).
10. Mengangkat kepala sambil bertakbir,
bertumpu pada kaki kiri dan mendudukinya, sedang-kan kaki kanan ditegakkan, meletakkan
kedua tangan di atas ujung kedua paha dan kedua lutut, lalu mem-baca:
bertumpu pada kaki kiri dan mendudukinya, sedang-kan kaki kanan ditegakkan, meletakkan
kedua tangan di atas ujung kedua paha dan kedua lutut, lalu mem-baca:
"Wahai Rabbku, ampunilah aku; wahai
Rabbku, ampunilah aku; wahai Rabbku, ampunilah aku. Ya Allah, ampunilah aku,
belas kasihilah aku, berilah aku petunjuk, berilah aku rizki, berilah aku
kesehatan dan tutupilah kekuranganku."
Hendaknya thuma'ninah (berhenti
sebentar) di waktu duduk, hingga setiap persendian benar-benar berada pada
posisinya, sebagaimana di saat ia berdiri i`tidal sebelum ruku`, karena Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam memanjangkan (waktu) i`tidalnya sesudah ruku` dan
ketika duduk di antara dua sujud.
11. Sujud yang kedua sambil bertakbir,
dalam melakukannya sebagaimana ia melakukan pada sujud pertama.
dalam melakukannya sebagaimana ia melakukan pada sujud pertama.
12. Mengangkat kepala (bangun) sambil
bertakbir,
dan duduk sejenak seperti duduk antara dua sujud. Ini disebut duduk istirahat, hukumnya sunnah menurut pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat para ulama, dan jika ditinggalkan maka tidak apa-apa. Dan pada duduk ini tidak ada bacaan atau pun do'a.
dan duduk sejenak seperti duduk antara dua sujud. Ini disebut duduk istirahat, hukumnya sunnah menurut pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat para ulama, dan jika ditinggalkan maka tidak apa-apa. Dan pada duduk ini tidak ada bacaan atau pun do'a.
Lalu bangkit dan berdiri
untuk melakukan raka`at yang kedua dengan bersanggah pada kedua lutut jika memungkinkan,
dan jika tidak memung-kinkan, maka bersanggah kepada kedua tangan di atas
lantai, kemudian membaca Al-Fatihah dan sete-rusnya seperti apa yang dilakukan
pada raka`at yang pertama. Tidak boleh bagi seorang ma'mum menda-hului imam,
karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang umatnya dari tindakan seperti
itu, demikian juga dibenci memba-rengi imam. Sunnahnya bagi ma`mum,
gerakan-gerakannya harus sesudah gerakan-gerakan imam-nya dengan tidak
berbarengan, dan harus setelah terhentinya suara imam, karena Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
" Sesungguhnya
imam itu dijadikan sebagai imam agar diikuti, maka janganlah kalian
menyelisihinya, oleh karena itu, jika ia bertakbir maka bertakbirlah kalian,
dan jika ia ruku` maka ruku`lah kalian, dan apabila ia membaca:
"Sami`allahu liman hamidah", maka bacalah: "Rabbana wa
lakal-hamdu", dan apabila ia sujud, maka sujudlah kalian" (Muttafaq
`alaih).
13. Jika shalat itu
adalah shalat dua raka`at, seperti shalat Subuh, shalat Jum`at dan shalat `Id,
maka duduk iftirasy setelah bangkit dari sujud kedua, yaitu
dengan menegakkan kaki kanan, dan bertumpu pada kaki kiri, tangan kanan
diletakkan di atas paha kanan dengan menggenggam semua jari kecuali jari
telujuk untuk berisyarat kepada tauhid di saat meng-ingat Allah shallallahu
'alaihi wasallam dan berdo'a. Jika jari manis dan jari kelingking tangan kanan
digenggamkan, sedangkan ibu jari dibentuk lingkaran dengan jari tengah dan
berisyarat dengan jari telunjuk, maka hal tersebut sangat baik sekali, karena
kedua cara tersebut ada di dalam hadits shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam. Dan afdhalnya melakukan cara yang pertama pada suatu saat dan cara
yang kedua pada saat yang lain. Sedangkan tangan kiri diletakkan di atas
(ujung) paha kiri dan lutut; lalu membaca Tasyahhud, yaitu:
Kemudian dilanjutkan
dengan membaca:
Lalu memohon
perlindungan kepada Allah dari empat hal dengan membaca:
Kemudian berdo'a,
memohon kepada Allah untuk kebaikan dunia dan akhirat. Dan apabila berdo`a
untuk kedua orang tua atau untuk kaum muslimin, maka dibolehkan, baik di waktu
shalat wa-jib ataupun shalat sunnah, berdasarkan hadits Nabi shallallahu
'alaihi wasallam dari Ibnu Mas`ud radhiyallahu 'anhu ketika Nabi shallallahu
'alaihi wasallam mengajarinya Tasyahhud, beliau bersabda:
"Kemudian hendaknya ia memilih do`a yang lebih disukai, lalu berdo`a"
Do`a yang disebutkan
dalam hadist di atas men-cakup semua apa saja yang berguna bagi seseorang dalam
kehidupan dunia dan akhirat. Setelah itu memberi salam dengan menoleh ke kanan
dan salam dengan menoleh ke kiri, seraya mengucapkan:
14. Jika shalat yang
dikerjakan adalah tiga raka`at, seperti shalat Maghrib, atau empat raka`at,
seperti shalat Zhuhur, `Ashar dan Isya', maka hendak-nya ia membaca tasyahhud tersebut
di atas dengan membaca shalawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
kemudian bang-kit dengan bersanggah kepada kedua lututnya, sambil mengangkat
kedua tangan sampai sejajar dengan kedua pundak dan membaca Allahu
Akbar, lalu mele-takkan kedua tangan di dada sebagaimana diterang-kan di
atas kemudian membaca Al-Fatihah saja.
Jika ia membaca surah
atau ayat pada raka`at ketiga dan keempat dalam shalat dzuhur sesudah
al-Fatihah pada saat-saat tertentu, maka tidak apa-apa. Karena ada hadits
shahih yang menunjukkan hal tersebut dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
yang bersumber dari Abu Sa`id radhiyallahu 'anhu.
Dan jika tidak membaca
shalawat pada tasyah-hud pertama, maka tidak apa-apa, karena
hukumnya sunnah, tidak wajib dalam tasyahhud awal. Kemudian membaca tasyahhud setelah
raka`at ketiga pada shalat Maghrib, dan setelah raka`at keempat dari shalat
Zhuhur, Ashar dan Isya', berikut dengan shalawat kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam , dan memohon perlindungan kepada Allah dari empat perkara
yang disebutkan di atas (adzab Neraka Jahannam, siksa kubur, fitnah kehi-dupan
dan kematian dan dari kejahatan fitnah Dajjal), lalu perbanyak berdo`a.
Dan di antara do`a yang
diajarkan pada akhir tahiyyat (tasyahhud) dan juga dalam
kesempatan-kesempatan lainnya adalah:
" Ya Rabb kami, karuniakan kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari adzab api Neraka".
Karena ada hadits shahih yang bersumber dari
Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
Kebanyakan dari do`a-do`a Nabi shallallahu 'alaihi wasallam itu adalah Rabbana atina fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah wa qina adzaban nar.
Sebagaimana telah
disebutkan di atas dalam shalat yang dua raka`at, hanya saja posisi duduk saat
ini adalah duduk tawarruk, yaitu duduk dengan meletakkan telapak
kaki kiri di bawah betis kaki kanan dan kemudian mendudukkan pantat di atas
tanah, sedangkan kaki kanan tegak, berdasarkan hadits yang bersumber dari Abu
Humaid. Kemudian memberi salam ke kanan sambil mengucapkan:
dan salam ke kiri seraya mengucapkan:
Sehabis itu beristighfar (memohon ampun) kepada
Allah tiga kali, membaca:
" Ya Allah,
Engkaulah Yang Maha Selamat dan dariMulah keselamatan, Maha Suci Engkau, wahai
Tuhan Pemilik keagungan dan kemulia-an; tiada tuhan yang berhak disembah
kecuali Allah semata, tiada sekutu bagiNya, milikNya lah kerajaan, dan
milikNya-lah segala pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu; tiada
kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Ya Allah, tiada yang dapat
menghalangi terhadap apa yang Engkau berikan, dan tiada yang dapat memberi
terhadap apa yang Engkau halangi, tidaklah bermanfaat kemuliaan bagi pemiliknya
kecuali kemuliaan itu dari Engkau. Tiada tuhan yang berhak disembah selain
Allah, dan kami tidak menyembah kecuali hanya kepadaNya; kepunyaanNya lah
kenikmatan dan milikNya lah karunia, dan bagiNya-lah sanjungan yang baik, tiada
tuhan yang berhak disembah selain Allah, dengan tulus ikhlas tunduk kepadaNya
sekalipun orang-orang kafir tidak suka".
Kemudian bertasbih
(mengucapkan Subhanallah ) sebanyak 33 kali, memuji Allah
(mengucapkan Alhamdulillah) 33 kali dan bertakbir
(mengucapkan Allahu akbar) 33 kali, serta digenapkan menjadi
seratus dengan mengucapkan:
"Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagiNya, kepunyaan-Nya-lah kerajaan, dan milikNya-lah segala pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu".
Lalu membaca ayat Kursi,
Surat Al-Ikhlash, surat
Al-Falaq dan Surah An-Nas pada setiap kali selesai shalat. Dan dianjurkan
(disunnahkan) meng-ulang tiga surat tersebut sebanyak 3 kali setelah selesai
shalat Maghrib dan shalat subuh, berdasarkan hadits shahih dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam yang menganjurkan tentang hal itu, begitu pula
dianjurkan (disunnahkan) menambah dzikir tersebut di atas, terutama
setelah shalat Maghrib dan shalat Subuh dengan dzikir berikut 10 kali:
"Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagiNya, kepunyaan-Nya-lah kerajaan, dan milikNya-lah segala pujian, Dia menghidupkan dan mematikan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu".
Semua itu berdasarkan hadits shahih dari
Rasu-lullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Jika ia sebagai imam, maka hendaknya berbalik
menghadap para ma'mum sesudah beristighfar 3 kali dan mengucapkan:
"Ya Allah, Engkau Yang Maha selamat dan dariMu lah keselamatan, Maha Tinggi lagi Maha Suci Engkau, wahai Pemilik keagungan dan kemuliaan".
Kemudian membaca
dzikir-dzikir sebagaimana tersebut di atas, yang banyak disebutkan dalam
hadits-hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, di antaranya adalah
hadits shahih yang dari `Aisyah radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim. Semua dzikir di atas hukumnya sunnah, tidak wajib.
Disunnahkan pula bagi
setiap muslim, baik laki-laki atau perempuan shalat sunnah 4 raka`at sebelum
Zhuhur dan 2 raka`at sesudahnya, 2 raka`at sesudah shalat Maghrib, 2 raka`at
sesudah Isya dan 2 raka`at sebelum shalat Subuh. Jumlah kesemuanya 12 raka`at,
yang dinamakan shalat rawatib; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam selalu
menjaganya di waktu muqim, adapun di waktu beper-gian beliau hanya melakukan
shalat sunnat Subuh dan witir. Untuk kedua shalat sunnah tersebut Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah meninggalkannya baik di waktu muqim
maupun di waktu bepergian. Beliau adalah teladan bagi kita, sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa
Ta'ala:
"Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik". (Al-Ahzab: 21).
Dan juga sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam:
"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat".(HR. Bukhari).
Dan lebih utama (afdhal) shalat-shalat
rawatib dan shalat witir dilakukan di rumah, namun jika dilakukan di masjid,
maka tidak apa-apa sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumah, kecuali shalat wajib."
(Hadits ini disepakati keshahihannya oleh
Bukhari dan Muslim)
Menjaga shalat rawatib
dengan sungguh-sung-guh merupakan bagian dari sebab seseorang masuk Surga,
sebagaimana yang diriwayatkan di dalam Shahih Muslim dari Ummi Habibah
radhiyallahu 'anhu sesungguhnya dia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Tiada seorang hamba muslim pun yang selalu melakukan shalat sunnat 12 raka`at selain dari shalat wajib pada setiap hari, melainkan Allah bangun untuknya sebuah istana di Surga."
Dan sesungguhnya Imam At-Tirmidzi di dalam
riwayat haditsnya juga menjelaskan (menafsirkan) hadits di atas sebagaimana
yang kami sebutkan tadi.
Jika ia melakukan 4 raka`at sebelum shalat
Ashar, 2 raka`at sebelum Maghrib, dan dua raka`at sebelum shalat Isya`, maka
itu lebih baik sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Allah akan memberi rahmat kepada seseorang yang selalu shalat 4 raka`at sebelum Ashar".
(HR. Imam Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan ia
menghasankannya; dishahihkan Ibnu Huzaimah, sanad hadits tersebut shahih).
Dan juga sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam:
" Di antara dua adzan (adzan dan iqamah) ada shalatnya, di antara dua adzan ada shalatnya, -Lalu beliau bersabda untuk ketiga kalinya: Bagi yang menghendaki." (HR. Al-Bukhari)
Dan jika shalat 4 raka`at setelah shalat Zhuhur
dan 4 raka`at sebelumnya, maka itu pun baik pula, sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam:
"Barangsiapa yang menjaga 4 raka`at sebelum Zhuhur dan 4 raka`at sesudahnya, maka ia diharamkan oleh Allah atas api Neraka."
(HR. Ahmad dan Ahlus Sunan dengan sanad shahih
dari Ummi Habi-bah radhiyallahu 'anhu)
Maksudnya adalah, ia
menambah 2 raka`at atas shalat sunnat rawatib sesudah Zhuhur, karena shalat
sunnat rawatib Zhuhur itu 4 raka`at sebelumnya dan 2 raka`at sesudahnya. Maka
jika ia melakukan dua rak`at shalat sunnat lagi sesudahnya, tercapailah apa
yang disebutkan di dalam hadits Ummi Habibah tersebut.
Dan Allahlah Pemberi
taufiq, dan semoga Allah tetap mencurahkan shalawat dan salam kepada nabi kita
Nabi Muhammad bin Abdullah shallallahu 'alaihi wasallam, kepada ke-luarga dan
para shahabatnya serta para pengikutnya hingga hari Kiamat.
RISALAH KEDUA
KEHARUSAN MELAKSANAKAN SHALAT FARDHU
DENGAN BERJAMA`AH
KEHARUSAN MELAKSANAKAN SHALAT FARDHU
DENGAN BERJAMA`AH
Dari Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz ditujukan kepada siapa saja yang melihat buku ini dari kaum
muslimin ..
Semoga Allah memberi
mereka taufiq terhadap segala hal yang mengandung keridhaanNya, dan semoga Dia
menghimpunku dan mereka dalam himpunan orang-orang yang takut dan bertaqwa
kepadaNya. Amin.
Assalamualaikum
warahmatullah wabarakatuh, waba`du:
Telah sampai berita
kepadaku bahwasanya banyak kaum muslimin yang mengabaikan dalam melakukan shalat
wajib secara berjama`ah, mereka berdalih dengan pendapat sebagian ulama yang
menggampangkan hal ini. Maka saya berkewajiban untuk menjelaskan betapa
besarnya permasalahan ini dan betapa sangat penting; dan tidak diragukan lagi
bahwa mengabaikan shalat berjamaah adalah suatu kemungkaran yang sangat besar
dan bahayanya pun fatal. Maka tugas dan kewajiban para ulama adalah memberikan
penjelasan dan peringatan, terhadap pengabaian tersebut yang merupakan
kemungkaran nyata, yang tidak boleh didiamkan.
Dan sudah dimaklumi
bersama, bahwasanya tidaklah layak bagi seorang muslim menganggap remeh suatu
perkara yang kedudukannya dimuliakan oleh Allah di dalam Kitab Sucinya, dan
diagungkan oleh RasulNya yang mulia shallallahu 'alaihi wasallam.
Berulang kali Allah Ta'ala menyebutkan
shalat di dalam Kitab Sucinya, Dia tinggikan kedudukannya, Dia perintahkan agar
memelihara dan melaksanakan-nya dengan berjama`ah. Dan Dia peringatkan bahwa
meremehkan dan bermalas-malasan dalam melakukannya merupakan ciri (sifat) orang-orang
munafiq, sebagaimana
firmanNya:
Peliharalah segala shalat (mu) dan peliharalah
shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu`.
(Al-Baqarah; 238).
Dan bagaimana manusia
akan mengetahui bahwa seorang hamba memelihara shalat dan mengagungkannya,
padahal ia telah meninggalkan shalat berjama`ah bersama-sama suadara-saudaranya
(kaum muslimin) dan menganggap remeh kedudukannya. Padahal Allah telah
berfirman:
"Dan dirikanlah shalat, tunaikan
zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku`.
(Al-Baqarah: 43)
Ayat di atas secara
tegas menjelaskan kewajiban melakukan shalat wajib dengan berjama`ah dan
me-nyertai shalat orang-orang yang shalat; dan sekiranya yang dimaksud oleh
ayat tersebut hanya menegak-kannya saja, maka tidak jelaslah korelasi gamblang
pada ujung ayat (dan ruku`lah kalian bersama-sama orang-orang yang
ruku`), karena Allah telah mem-erintahkan agar menegakkannya pada awal
ayat.
Dan Dia pun berfirman:
"Dan apabila kamu
berada di tengah-tengah me-reka (shahabatmu) lalu kamu hendak mendiri-kan
shalat bersama-sama mereka, maka hendak-lah segolongan dari mereka berdiri
(shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apa bila mereka(yang shalat
besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka`at), maka hen-daklah mereka
pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan
yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah
mereka bersiap-siaga dan menyandang senjata. (An-Nisa': 102).
Pada ayat di atas Allah
mewajibkan shalat berjama`ah dalam kondisi perang dan penuh keta-kutan, maka
bagaimana dalam kondisi damai? Kalau sekiranya seseorang diperbolehkan
meninggalkan shalat berjama`ah, niscaya para tentara yang berbaris menghadang
musuh dan orang-orang yang terancam serangan musuh itu lebih berhak untuk
diperboleh-kan meninggalkan shalat berjama`ah. Oleh karena hal itu tidak
terjadi (Baca: tidak diperbolehkan mening-galkan shalat berjama`ah), maka dapat
kita ketahui bahwa shalat berjama`ah itu termasuk kewajiban yang sangat
penting, dan tidak diperbolehkan bagi seorang pun meninggalkannya.
Dan di dalam Shahih
Bukhari dan Muslim ter-dapat hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu
bahwasanya Ra-sulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sungguh, aku telah bertekad untuk menyuruh (para shahabat) melakukan shalat, dan aku suruh seseorang untuk mengimaminya, kemudian aku pergi bersama beberapa orang yang membawa beberapa ikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak ikut shalat berjama`ah, untuk membakar rumah mereka dengan api. (Al-Hadits).
Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad meriwayatkan
bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Kalau sekiranya tidak karena istri-istri dan anak-anak berada di dalam rumah mereka, niscaya aku bakar rumah mereka."
Di dalam Shahih Muslim
dari Abdullah bin Mas`ud radhiyallahu 'anhu mengatakan: "Sesungguhnya
kami telah menyaksikan, bahwa tidak ada yang meninggalkan shalat berjama`ah (di
masa kami) kecuali orang munafiq yang telah jelas kemunafikannya, atau orang
sakit. Padahal ada di antara yang sakit berjalan de-ngan diapit oleh dua orang
untuk mendatangi shalat berjama`ah".
Dan dia juga berkata:
" Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam telah mengajari kami sunnah-sunnah agama, dan di
antara sunnah-sunnah tersebut adalah shalat di masjid yang dikumandangkan adzan
di dalamnya".
Dan di dalam Shahih Muslim juga dia
berkata:
" Barangsiapa yang ingin berjumpa Allah
di kemudian hari dalam keadaan muslim, maka hendaklah ia memelihara shalat lima
waktu ini dengan melakukannya dimana saja ada seruan adzan, karena sesungguhnya
Allah telah menetapkan (mensyari`atkan) jalan-jalan menuju hidayah
(petunjuk-petunjuk agama), dan sesungguhnya melakukan shalat lima waktu dengan berja-ma'ah adalah termasuk
jalan-jalan menuju hidayah. Maka sekiranya kalian shalat di rumah-rumah kalian
sebagaimana orang yang lalai melakukannya di rumah, maka berarti kalian te-lah
meninggalkan sunnah (ajaran) nabi kalian, dan jika kalian meninggalkan sunnah
nabi kali-an, niscaya kalian sesat. Dan tiada seseorang bersuci (berwudhu),
lalu melakukannya dengan baik (sempurna), kemudian ia datang ke salah satu
masjid dari masjid-masjid yang ada ini, melainkan Allah mencatat baginya satu
kebajikan untuk setiap langkah yang ia ayunkan, dan Dia mengangkatnya satu
derajat karena langkah itu, serta Dia hapuskan dari padanya satu dosa.
Sesungguhnya, kami telah menyaksikan, bahwa tiada seorang pun yang meninggalkan
shalat berjama`ah (di masa kami), kecuali orang munafiq yang sudah jelas
kemunafikannya. Dan sesungguhnya ada orang yang diapit oleh dua orang menuju
masjid hingga didirikan di shaf. "
Di dalam shahih Muslim
juga diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya ada seorang buta yang berkata: "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya tidak ada orang yang menuntunku ke masjid, apakah ada
keringanan bagiku untuk shalat di rumahku? Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam menjawab: Apakah kamu mendengar seruan adzan? Orang itu menjawab: Ya.
Maka Nabi bersabda: Kalau begitu penuhi seruan itu."
Dan juga ada hadits
shahih yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah
bersabda:
"Barangsiapa yang mendengar seruan adzan, lalu ia tidak datang (memenuhi seruan shalat berjama`ah itu), maka tidak sah shalatnya, kecuali karena ada udzur".
Suatu ketika Ibnu Abbas
ditanya: Apa udzur itu?
Ia menjawab: Takut
(serangan musuh) atau sakit.
Dan hadits-hadits yang
menunjukkan tentang kewajiban shalat berjama`ah dan kewajiban melaku-kannya di
masjid-masjid yang diizinkan Allah untuk ditinggikan dan disebutkan namaNya,
sangat banyak sekali. Maka kewajiban setiap muslim adalah mem-perhatikan
masalah ini dan segera melakukannya serta menganjurkan dan menasihati
anak-anak, keluarga dan para tetangga serta saudara-saudaranya yang seiman
untuk melakukan perkara ini, sebagai ketaatan kepada perintah Allah dan
RasulNya, dan supaya terhindar dari perbuatan yang dilarang oleh Allah dan
RasulNya, dan jauh dari sifat-sifat orang-orang munafiq yang dinyatakan oleh
Allah dengan sifat-sifat yang tercela, yang di antaranya adalah kela-laian
mereka dalam melakukan shalat.
Sebagaimana firman
Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya
orang-orang munafiq itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.
Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka
bermaksud riya' (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidak-lah mereka
menyebut Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara
yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini(orang-orang
beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu(orang-orang kafir). Barangsiapa
yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk
memberi petunjuk) baginya. (An-Nisa': 142-143)
Dan sesungguhnya
meninggalkan shalat ber-jama`ah merupakan penyebab utama dari pengabaian
pelaksanaan shalat secara keseluruhan.
Sudah dimaklumi bahwa
meninggalkan shalat adalah suatu kekafiran dan kesesatan serta keluar dari
Islam, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"(Pembatas) antara seorang muslim dengan kemusrikan dan
kekufuran adalah meninggalkan shalat."
(HR. Muslim di da-lam kitab Shahihnya bersumber
dari Jabir radhiyallahu 'anhu)
Dan beliau shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
"Perjanjian antara kita dengan mereka (orang munafik) adalah shalat,
barangsiapa meninggalkannya maka sesungguhnya ia telah kafir".
(HR. Imam Ahmad dan Ashabus sunan dengan sanad
shahih).
Ayat-ayat Al-Qur`an dan
hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang menjelaskan tentang
kedudukan shalat, kewajib-an memeliharanya dan mendirikannya sebagaimana yang
disyari`atkan Allah serta peringatan keras terha-dap pengabaiannya sangat
banyak. Maka kewajiban setiap muslim adalah memelihara (pelaksanaan)nya tepat
pada waktunya dan mendirikannya sebagaimana yang disyari`atkan Allah bersama
saudara-saudaranya di masjid-masjid, sebagai tanda kepatuhan kepada Allah Ta'ala dan
rasulNya, dan agar terhindar dari murka Allah dan kepedihan adzabNya.
Dan apabila kebenaran
dan dalil-dalinya telah jelas, maka tidak boleh bagi seorang pun menyim-pang
darinya karena pendapat si Fulan atau si Fulan. Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah berfirman:
"Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kalian benar-benar beriman kepada
Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.
(An-Nisa': 59)
Dan firmanNya:
"Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa adzab yang pedih." (An-Nur: 63).
Sudah tidak diragukan
lagi bahwa shalat berja-a`ah itu mengandung faidah yang sangat banyak dan
maslahat yang sangat jelas di antaranya adalah saling mengenal (ta`aruf ),
saling menolong dalam kebajikan dan ketaqwaan, saling menasihati dalam
kebenaran dan kesabaran, memberi dorongan kepada orang yang lalai, mengajar
orang yang bodoh, mem-bongkar kemarahan orang-orang munafiq dan men-jauhi jalan
mereka, menampakkan syi`ar-sy`iar agama kepada segenap hamba-hambaNya,
berdakwah di jalan Allah dengan lisan amal, dan faidah lain yang masih
banyak.
Sebagian orang ada yang
bergadang di malam hari sehingga terlambat melakukan shalat Subuh, dan sebagian
lagi ada yang meninggalkan shalat Isya`. Tentu, hal seperti itu merupakan
kemungkaran besar dan tasyabbuh (meniru perbuatan) orang-orang
munafiq, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya
orang-orang munafiq itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari
Neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan men-dapat seorang penolong pun bagi
mereka.
(An-Nisa: 145).
Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Orang-orang
munafiq laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah
sa-ma, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang berbuat yang ma`ruf,
dan mereka menggenggamkan tangannya, mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah
melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafiq itulah orang-orang yang
fasiq. Allah mengancam orang-orang munafiq laki-laki dan perempuan dan
orang-orang kafir dengan Neraka Jahannam. Mereka kekal di dalamnya. Cukuplah
Neraka itu bagi mereka; dan Allah melaknati mereka; dan bagi mereka adzab yang
kekal.
(At-Taubah 67-68).
Dan Allah berfirman tentang mereka:
"Dan tidak
ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melain-kan
karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan
shalat, melainkan dengan malas dan tidak pula menaf-kahkan harta mereka,
melainkan dengan rasa enggan. Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka
menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan memberi harta benda dan
anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan
melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.
(At-Taubah-54-55).
Maka wajib bagi setiap
muslim laki-laki dan perempuan waspada dari menyerupai (meniru-niru)
orang-orang munafiq baik perbuatan, perkataan dan kemalasan mereka dalam
menunaikan shalat dan pengabaian mereka dalam melakukan shalat Isya` dan Subuh
dengan berjama`ah, agar tidak dihimpun ber-sama mereka.
Dalam riwayat hadits
shahih Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
" Shalat
yang paling berat menurut orang-orang munafiq adalah shalat Isya` dan shalat
Shubuh. Sekiranya mereka mengetahui pahala yang ter-kandung pada keduanya,
niscaya mereka akan datang untuk melakukannya (secara berja-ma`ah) sekalipun
dengan merangkak".
(Muttafaq alaih).
Dan sabdanya:
"Barangsiapa meniru-niru (menyerupai) suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka".
(HR. Imam Ahmad, bersumber dari Abdullah bin
Umar shallallahu 'alaihi wasallam dengan sanad hasan).
Semoga Allah memberi
taufiq kepadaku dan kepada pembaca menuju keridhaanNya dan kebaikan di dunia
dan akhirat, dan semoga Dia melindungi kita dari kejahatan nafsu, amal-amal
buruk kita dan dari perbuatan yang menyerupai orang-orang kafir dan munafiq.
Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.
RISALAH KETIGA
HUKUM SHALAT DAN BERSUCI BAGI ORANG SAKIT
HUKUM SHALAT DAN BERSUCI BAGI ORANG SAKIT
Segala puji bagi Allah
Rabb semesta alam, sha-lawat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada nabi dan
rasul yang termulia, nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga serta segenap para
shahabatnya, wa ba`du:
Berikut ini adalah
uraian singkat yang berhu-bungan dengan beberapa hukum bersuci dan shalat bagi
orang sakit.
Sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan kewa-jiban bersuci untuk setiap shalat,
karena sesungguh-nya menghilangkan hadats dan najis, baik pada tu-buh, pakaian
atau tempat shalat, keduanya merupa-kan bagian dari syarat-syarat sahnya
shalat. Maka apabila seorang muslim hendak melakukan shalat, ia wajib berwudhu
(bersuci) dari hadats kecil, atau mandi terlebih dahulu jika ia berhadats
besar. Dan sebelum berwudhu ia harus beristinja' (bersuci) dengan air
atau beristijmar dengan batu jika kencing atau buang air
besar, agar kesucian dan kebersihan menjadi sempurna.
Dan berikut ini uraian
tentang berapa hukum yang berkaitan dengan hal di atas:
Bersuci dengan air dari
apa saja yang keluar dari qubul atau dubur, seperti air kencing atau berak
adalah wajib.
Dan tidak diwajibkan
(kepada seseorang) ber-istinja karena tidur atau keluar angin (kentut), yang
wajib baginya adalah berwudlu. Sebab, istinja' itu disyari`atkan untuk
menghilangkan najis. Sementara, tidur dan keluar angin itu tidak ada najis.
Istijmar adalah
pengganti istinja (bersuci) de-ngan air. Dan istijmar dengan batu atau sesuatu
yang serupa dengannya. Dalam beristijmar harus meng-gunakan tiga buah batu yang
suci dan bersih, sebab Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits
shahihnya bersabda:
"Barangsiapa beristijmar hendaklah ia mengganjilkannya".
Dan beliau juga bersabda:
"Apabila seorang diantara kalian pergi kebela-kang untuk buang air besar, maka hendaklah membawa tiga batu, karena sesungguhnya hal itu cukup baginya" (HR. Abu Daud).
Dan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam melarang beristijmar dengan kurang dari tiga batu,
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Tidak boleh beristijmar
dengan kotoran (manusia atau hewan), tulang atau makanan, atau apa saja yang
haram.
Afdhalnya adalah
beristijmar dengan batu atau apa saja yang serupa dengannya, seperti tissue dan
lain-lain, kemudian diakhiri dengan air. Karena batu berfungsi menghilangkan
materi najis, sedangkan air mensucikan tempat (najis). Maka yang demikian ini
lebih suci.
Seseorang boleh memilih
antara beristinja' dengan air atau beristijmar dengan batu dan benda yang
serupa dengannya, atau menggabungkan antara keduanya.
Dari Anas radhiyallahu 'anhu bahwa dia berkata:
"Bahwasanya Nabi shallallahu
'alaihi wasallam pernah masuk ke jamban, dan aku bersama anak sebaya denganku
memba-wa bejana berisi air dan tongkatnya. Maka Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam beristinja dengan air itu". (Muttafaq alaih).
Dan dari `Aisyah
radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata kepada sekelompok orang: "Suruhlah
suami-suami kalian ber-suci dengan air, karena sesungguhnya aku malu kepada
mereka, dan sesungguhnya Rasulullah radhiyallahu 'anhu selalu
melakukannya". Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini
shahih".
Apabila memilih salah
satunya, maka (dengan) air itu lebih afdhal, karena air dapat mensucikan tempat
(najis) dan menghilangkan materi dan bekas najis. Air itu lebih sempurna dalam
membersihkan. Dan seandainya memilih bersuci dengan mengguna-kan batu, maka
boleh dengan syarat menggunakan tiga batu yang dapat membersihkan tempat
(najis).
Jika tiga batu tidak
cukup untuk (membersih-kan), maka ditambah satu atau dua lagi hingga tempat
najis benar-benar bersih. Dan afdhalnya disudahi dengan hitungan ganjil, karena
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa beristijmar hendaklah mengganjilkan".
Dan tidak boleh beristijmar dengan tangan kanan,
karena Salman berkata di dalam haditsnya:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
telah melarang siapa saja dari kami beristinja dengan tangan kanan".
Dan beliau bersabda:
" Jangan ada seorang di antara kamu memegang kemaluannya dengan tangan kanan di saat ia kencing, dan jangan pula mengusap (meng-lap) setelah buang air besar dengan tangan kanan".
Jika tangannya patah
atau sakit atau karena hal lain, maka boleh beristijmar dengan tangan kanan,
karena terpaksa, dan tidak apa-apa. Jika bersuci dengan melakukan keduanya,
istijmar dan istinja dengan air, maka yang demikian itu lebih afdhal dan lebih
sempurna.
Ajaran Islam (Syari`at
Islam) dibangun berlan-dasan kemudahan dan keringanan, maka dari itulah Allah
memberikan keringanan bagi orang-orang yang mempunyai udzur di dalam
peribadatan sesuai dengan udzurnya, sehingga mereka dapat beribadah kepada-Nya
tanpa kesulitan.
Allah Ta'ala berfirman:
"Dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan".
(Al-Hajj: 78).
"Allah menghendaki kemudahan bagimu
dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagimu".
(Al-Baqarah: 185).
"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah
menurut kesanggupanmu".
(At-Taghabun:16).
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Apabila aku perintah kalian dengan sesuatu, maka lakukanlah ia sesuai
dengan kemampuan kalian".
Dan beliau juga bersabda:
"Sesungguhnya agama itu mudah".
Orang sakit, apabila ia
tidak memungkinkan bersuci dengan menggunakan air, seperti berwudhu dari hadits
kecil atau mandi dari hadats besar, karena lemah atau khawatir akan bertambah
parah atau kesembuhannya akan tertunda, maka ia boleh ber-tayammum, yaitu
menepukkan kedua telapak tangan ke tanah yang suci satu kali, lalu menyapu
mukanya dengan telapak jari-jari dan kedua tangan dengan telapak tangannya;
karena Allah berfirman:
"Dan jika kamu junub maka mandilah, dan
jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus)
atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah
dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu de-ngan tanah
itu. (Al-Ma`idah: 6).
Orang yang tidak mampu menggunakan air
kedudukannya (hukumnya) sama dengan kedudukan orang yang tidak memperoleh air,
karena firman Allah Ta'ala:
"Bertaqwalah kalian kepada Allah
menurut kemampuan kalian".
(At-Taghabun: 16).
Dan juga sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam kepada Ammar bin Yasir:
"Sesungguhnya cukup bagimu melakukan dengan kedua tanganmu seperti ini".
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sam-bil menepukkan
kedua tangannya ke tanah satu kali, lalu menyapukannya ke muka dan kedua
telapak tangannya.
Dan tidak boleh bertayamum kecuali dengan tanah
bersih yang berdebu.
Dan tayamum tidak sah kecuali dengan niat, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
Dan tayamum tidak sah kecuali dengan niat, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya amal ibadah itu (tergantung) dengan niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapat (pahala atau tidak) sesuai de-ngan niatnya".
1. Apabila sakitnya
ringan dan tidak dikhawatir-kan akan bertambah parah jika menggunakan air, atau
penyakitnya tidak mengkhawatirkan dan tidak memperlambat proses penyembuhannya,
atau tidak menambah rasa sakit, atau penyakit yang serius seperti pusing, sakit
gigi atau penyakit lainnya yang serupa; atau orang sakit itu masih dapat
mengguna-kan air hangat dan tidak berbahaya karenanya, maka dalam kondisi
seperti itu ia tidak boleh bertayamum. Sebab tayamum itu dibolehkan untuk
menghindari bahaya, padahal dalam kondisi seperti ini tidak ada sesuatu yang
membahayakan; dan karena ia juga memperoleh air. Dengan demikian, ia wajib
meng-gunakan air.
2. Jika ia mengidap penyakit yang dapat mem-bahayakan jiwanya, atau
membahayakan salah satu anggota tubuhnya, atau penyakit yang mengkha-watirkan
akan timbulnya penyakit lain yang dapat membahayakan jiwanya, atau membahayakan
salah satu anggota tubuhnya atau mengkhawatirkan hilang-nya manfa`at, maka dalam
kondisi seperti ini ia boleh bertayamum, karena Allah berfirman:
"Dan janganlah kamu membunuh
dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu".
(An-Nisa': 29).
3. Jika ia mengidap
penyakit yang membuatnya tidak dapat bergerak. Sementara, tidak ada orang yang
mengantarkan air kepadanya, maka boleh bagi nya bertayamum. Kalau dia tidak
dapat bertayamum, maka ditayamumkan oleh orang lain. Dan jika tubuh, pakaian
atau tempat tidurnya terkena najis, sementara ia tidak mampu menghilangkan atau
bersuci darinya, maka ia diperbolehkan melakukan shalat dalam keadaan seperti
itu. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"Maka
bertaqwalah kalian kepada Allah menurut kemampuan kalian".
Dan tidak boleh baginya
menunda waktu shalat dalam keadaan bagaimanapun atau disebabkan
keti-dakmampuannya bersuci atau menghilangkan najis.
4. Bagi orang yang
luka parah, berbisul, patah tulang atau penyakit apa saja yang dapat
mem-bahayakan dirinya bila menggunakan air, lalu junub, maka boleh bertayamum,
karena dalil-dalil di atas; akan tetapi jika ia memungkinkan untuk mencuci
bagian yang sehat dari tubuhnya, maka mencuci yang demikian itu wajib dan
bagian yang lain disucikan dengan tayamum.
5. Apabila si sakit
berada di suatu tempat yang tidak ada air dan tanah dan tidak ada orang yang
mendatangkan kepadanya, maka harus shalat (tanpa wudhu atau tayamum), dan tidak
ada alasan baginya untuk menunda waktu shalat, karena firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala:
"Maka bertaqwalah kalian kepada
Allah menurut kemampuan kalian".
6. Bagi orang yang menderita penyakit beser
(kencing terus menerus) atau pendarahan yang terus-menerus atau selalu buang
angin, sedangkan pengobatan tidak pernah menyembuhkannya, maka ia wajib
berwudhu pada setiap kali shalat sesudah masuk waktu, dan mencuci bagian tubuh
atau pakaian yang terkena kotorannya, atau memakai pakaian bersih pada setiap
kali shalat, jika hal itu memungkinkan; sebab
Allah telah berfirman:
"Dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Al-Haj: 78).
"Allah menghendaki kemudahan bagi
kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian". (Al-Baqarah: 185).
Dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Apabila aku perintah kalian melakukan
suatu perkara, maka lakukanlah ia menurut kemampuan kalian".
Dan hendaklah ia mengambil sikap hati-hati untuk
mencegah tersebarnya air seni atau darah ke pakaian, tubuh atau tempat
shalatnya.
Dan diperbolehkan
baginya sesudah shalat hingga habis waktunya untuk melakukan shalat sunnat apa
saja atau membaca Al-Qur`an. Lalu apabila waktu telah habis, wajib berwudhu'
lagi atau bertayamum jika tidak dapat berwudhu', karena Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam menyuruh wanita yang menderita istihadhah (keluar
darah terus menerus dari rahim-nya selain darah haid) agar berwudhu' pada
setiap kali akan shalat wajib. Adapun air seni atau darah yang keluar pada
waktu itu tidak apa-apa asalkan ia berwudhu' sesudah masuk waktu
(shalat).
Jika pada anggota tubuh
ada yang masih dibalut (pada anggota wudhu atau tubuh) maka cukup mengusap di
atas pembalut tersebut pada saat berwudhu' atau mandi dan mencuci bagian
anggota yang lainnya. Namun jika mengusap pembalut atau mencuci anggota yang
dibalut itu membahayakan, maka cukup bertayamum pada tempat itu dan bagian yang
tersisa dari anggota yang berbahaya bila dicuci.
Tayamum batal dengan
setiap hal yang membatalkan wudhu' atau karena adanya kemampuan untuk
menggunakan air atau karena adanya air, jika sebelumnya tidak ada air. Wallahu
a`lam.
sumber:
Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia ,
Pimpinan Dewan Tokoh-tokoh Ulama dan
Kajian Ilmiyah dan Fatwa,
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
BACA JUGA ...
Kesehatan dalam Beribadah
SHARE !