Juru bicara yang mengaku mewakili semua bekas anggota organisasi Gerakan Fajar Nusantara alias Gafatar -yang sudah dibubarkan- menanggapi semua tuduhan yang dialamatkan kepada mereka.
Dalam wawancara khusus dengan BBC Indonesia, Wisnu Windhani menanggapi soal pengusiran sekitar 1.000 mantan anggota Gafatar dari Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, maupun tuduhan pihaknya telah melakukan penculikan hingga kaitan sosok Ahmad Moshaddeq dengan organisasi Gafatar.
Hari Selasa (19/01), sekelompok orang melakukan pembakaran rumah-rumah milik orang-orang eks anggota Gafatar di dua desa di Kabupaten Mempawah, Kalbar.
Aksi pembakaran diawali tuntutan agar para mantan anggota Gafatar meninggalkan lokasi tempatnya tinggalnya karena dianggap 'menganggu'.
Dikawal aparat keamanan, sedikitnya 1.000 orang warga eks anggota Gafatar kemudian dievakuasi dari kediamannya untuk ditampung di kompleks Perbekalan dan Angkutan (Bekangdam) Kodam XII/ Tanjungpura di Pontianak, Kalimantan Barat.
Menurut otoritas terkait di Kalbar, mereka akan dikembalikan ke daerah asalnya di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta.
Menurut Wisnu, kehadiran mereka di Kalimantan Barat hanya untuk bertani setelah aktivitas mereka ditolak di berbagai wilayah lainnya.
"Kami di sini (Kalimantan Barat) hanya ingin bertani, kami ingin menjadikan Borneo ini lumbung pangan nasional, lumbung pangan bagi bangsa, kami menanam padi, menanam sayur-mayur, melakukan kegiatan untuk kedaulatan pangan, tapi kelihatannya di Kalimantan pun kami tidak bisa diterima," jelasnya.
Meminta suaka
Di sinilah, dia merasa seperti kebingungan. "Kami sekarang ini tidak tahu mau bagaimana. Kami kembali ke tempat asal kami, kami tidak diterima, Tapi di sini (Kalimantan Barat) pun kami tidak diterima."
"Kami tidak tahu negeri mana lagi yang mau menerima kami."
Karena itulah, lanjutnya, apabila ada negara lain yang mau menampung mereka, maka dia meminta agar 'dibantu ke luar' dari Indonesia.
"Tolong kami. Kami membutuhkan suaka hari ini," kata Wisnu berulang-ulang. Dia mengaku telah mengirim surat elektronik (email) kepada perwakilan sejumlah negara untuk meminta suaka.
Sebagai warga Indonesia, Wisnu dkk mengaku haknya telah diinjak-injak. "Kami tidak boleh bersuara, kami tidak bisa menentukan pilihan, bahkan bertempat tinggal pun kami tidak diinginkan."
Sosok Ahmad Moshaddeq
Ditanya apakah organisasi bernama organisasi masyarakat Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) merupakan penjelmaan organisasi Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang dipimpin oleh Ahmad Moshaddeq, Wisnu membenarkannya.
"Betul, tetapi bukan beliau (Ahmad Moshaddeq) yang mendirikan," katanya.
Menurutnya, dia dan orang-orang yang tergabung dalam organisasi Gafatar (yang sudah dibubarkan), 'dulunya memang pengikut atau jamaah yang dipimpin oleh beliau.'
Ketika Ahmad Moshaddeq diadili dan divonis hukuman empat tahun penjara pada 2008 karena dianggap terbukti melakukan "perbuatan penodaan agama", para pengikutnya kemudian mendirikan organisasi baru, kata Wisnu.
"Karena kami umatnya banyak, kami tidak tahu bagaimana, akhirnya kami membuat organisasi yang menampung orang-orang yang mempunyai visi dan misi yang sama yaitu tentang bagaimana mengabdi kepada Tuhan," jelasnya.
Ketika BBC Indonesia menanyakan apakah pendirian organisasi didirikan atas sepengetahuan atau izin dari Ahmad Moshaddeq, Wisnu tidak menjawab secara tegas. Dia hanya mengatakan bahwa Moshaddeq adalah 'guru spiritual'
Namun demikian, lanjutnya, organisasi Gerakan Fajar Nusantara -yang kemudian mereka bubarkan pada April 2015 lalu- adalah semata-mata organisasi sosial, dan bukan organisasi agama.
"Tetapi (Gafatar) tidak diterima masyarakat di sini (Indonesia), saya tidak paham kenapa itu terjadi," ujarnya.
Membantah tuduhan menculik
"Enggak benar tuduhan kami menculik," kata Wisnu ketika ditanya tentang tudingan bahwa kelompoknya melakukan penculikan terkait sangkaan kepolisian terhadap'hilangnya' seorang ibu bernama Rica dan anaknya di Yogyakarta.
"Kalau menculik itu 'kan istilahnya orang tidak berdaya. Kalau dia sudah dewasa, dia sudah bisa menentukan nasib hidupnya. Itu namanya tidak menculik," kata Wisnu.
Menurut Wisnu, kasus yang menimpa seorang ibu bernama Rica dan anaknya di Yogyakarta, merupakan alasan untuk mengusir kelompoknya. Dia kemudian menyebut media massa 'yang memanas-manasi' sehingga mereka terusir.
"Kenapa enggak mikirin ISIS yang ngebom, kenapa mikirin kami yang hari ini bercocok tanam, kenapa ini yang dimasalahkan," katanya dengan nada bergetar.
'Kami cuma menanam padi, tidak bikin bom. Kenapa ISIS saja yang diusir. Enggak berani ngusir ISIS?" tambahnya.
Menanggapi fatwa Majelis Ulama Indonesia, MUI, yang menyatakan ajaran Ahmad Moshaddeq adalah 'sesat', Wisnu tidak mau mengomentarinya secara langsung.
"Kami bukan organisasi agama. Warga kami tidak hanya beragama Islam. Dan ini organisasi, bukan agama," katanya.
Ditanya kenapa sejauh ini pihaknya tidak mau 'bersuara', Wisnu mengaku sudah menanggapi berbagai tuduhan terhadap kelompoknya melalui media, tetapi sebagian media menyikapinya secara 'tidak fair'.
"Hak kami bersuara dicut (dipotong), diedit," katanya.
SHARE !
bbc.com