Meski menghabiskan waktu lima tahun untuk membangun dan sempat tersendat lantaran embargo Israel, RS Indonesia kini telah beroperasi membantu warga Gaza.
Warga Palestina di Jalur Gaza mungkin bisa sedikit tersenyum. Sebagian penderitaan mereka akan terobati.
Sebuah Rumah Sakit yang dibangun LSM Indonesia, Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) resmi beroperasi. Bernama Rumah Sakit Indonesia, sarana ini akan melengkapi fasilitas kesehatan di Gaza yang dalam kurun waktu 10 tahun tidak berfungsi maksimal.
Pembangunan RS yang membutuhkan waktu lima tahun itu sempat tersendat lantaran gempuran dan blokade Israel dan Mesir. Namun pembangunan tetap berjalan dan puncaknya pada 27 Desember tahun lalu, RS ini mulai berfungsi dan melayani 250 pasien setiap hari.
Berlokasi di puncak bukit di Jabalya yang merupakan kawasan kamp pengungsian terbesar di Gaza, RS ini akan melayani 300.000 penduduk yang tinggal di kawasan utara. Ini merupakan daerah yang terkena dampak paling parah akibat konflik dengan Israel pada 2014.
Di tahun itu, militer Israel membombardir Gaza lewat udara dan menewaskan sebanyak 2.100 penduduk yang kebanyakan adalah warga sipil. Berdasarkan laporan Pemerintah Palestina, serangan tersebut mengakibatkan kerusakan yang luas.
RS Indonesia dibangun dengan dana mencapai 9 juta dolar, setara Rp125 miliar. RS ini dilengkapi dengan 110 tempat tidur, sementara RS lokal yang telah lama berdiri hanya memiliki 62 tempat tidur.
"Ini akan membuat perubahan besar pada populasi lokal," ujar Kepala Media dan Hubungan Masyarakat RS Indonesia Muaeen Al Masri.
Gaza, rumah bagi dua juta orang, memiliki sekitar 30 RS dan klinik. Jika dibandingkan antara jumlah tempat tidur dengan pasien, seluruh fasilitas ini hanya dapat menyediakan 1,3 fasilitas bagi 1.000 penduduk, mengacu pada data Bank Dunia.
Sementara Israel dapat menyediakan rata-rata 3,3 tempat tidur setiap 1.000 penduduk dan Uni Eropa 5,4 tempat tidur setiap 1.000 penduduk.
Juru bicara Kementerian Kesehatan Palestina Ashraf Al Qidra mengatakan masih terdapat masalah di Gaza yaitu kurangnya jumlah tenaga dokter dan ahli bedah yang terlatih. Pasien kritis harus pergi ke Israel, Mesir atau negara lain jika membutuhkan perawatan khusus.
"Karena Israel hanya menerima pasien yang terancam mati dan Mesir tetap menjaga agar perbatasan tidak dilewati warga Gaza dalam skala besar, ratusan nyawa terancam," kata Qidra. Sementara RS terbesar di kawasan itu hanya Shifa, yang terletak di pusat Kota Gaza dengan 750 tempat tidur.
Sumber: arabnews.com