Mengenai pensyari’atan shalat Dhuha disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ
“Mereka bertasbih di waktu petang dan pagi” (QS. Shaad: 18). Kata Ibnu ‘Abbas, yang dimaksud isyroq di sini adalah shalat Dhuha. (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 84)
Mengenai maksud Ibnu ‘Abbas di atas terlihat dalam hadits hadits ‘Abdullah bin Al Harits, di mana ia berkata,
أن ابن عباس كان لا يصلي الضحى حتى أدخلناه على أم هانئ فقلت لها : أخبري ابن عباس بما أخبرتينا به ، فقالت أم هانئ : « دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم في بيتي فصلى صلاة الضحى ثمان ركعات » فخرج ابن عباس ، وهو يقول : « لقد قرأت ما بين اللوحين فما عرفت صلاة الإشراق إلا الساعة » ( يسبحن بالعشي والإشراق) ، ثم قال ابن عباس : « هذه صلاة الإشراق
Ibnu ‘Abbas pernah tidak shalat Dhuha sampai-sampai kami menanyakan beliau pada Ummi Hani, aku mengatakan pada Ummi Hani, “Kabarilah mengenai Ibnu ‘Abbas.” Kemudian Ummu Hani mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Dhuha di rumahku sebanyak 8 raka’at.” Kemudian Ibnu ‘Abbas keluar, lalu ia mengatakan, “Aku telah membaca antara dua sisi mushaf, aku tidaklah mengenal shalat isyroq kecuali sesaat.” (Allah berfirman yang artinya), “Mereka pun bertasbih di petang dan waktu isyroq (waktu pagi)” (QS. Shaad: 18). Ibnu ‘Abbas menyebut shalat ini dengan shalat isyroq. (HR. Al Hakim dalam Mustadroknya 4: 59. Syaikh Bazmoul dalam Bughyatul Mutathowwi’ mengatakan bahwa atsar ini hasan ligoirihi, yaitu dilihat dari jalur lainnya).
Hadits Abu Hurairah juga menunjukkan sunnahnya shalat Dhuha di mana beliau berkata,
أَوْصَانِى خَلِيلِى – صلى الله عليه وسلم – بِثَلاَثٍ صِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى ، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ
“Kekasihku –yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mewasiatkan tiga nasehat padaku: (1) berpuasa tiga hari setiap bulannya, (2) melaksanakan shalat Dhuha dua raka’at, dan (3) berwitir sebelum tidur.” (HR. Bukhari no. 1981 dan Muslim no. 721.)
Dalam riwayat Bukhari lainnya digunakan lafazh,
أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
“Kekasihku –yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mewasiatkan tiga nasehat padaku yang tidak kutinggalkan hingga aku mati: (1) berpuasa tiga hari setiap bulannya, (2) belaksanakan shalat Dhuha dua raka’at, dan (3) berwitir sebelum tidur.” (HR. Bukhari no. 1178).
Jumlah Raka’at Shalat Dhuha
Jumlah raka’at minimal shalat Dhuha adalah 2 raka’at. Sedangkan menurut Ar Rofi’i, raka’at maksimalnya adalah 12 raka’at. Sedangkan menurut Imam Nawawi dalam Syarh Al Muhaddzab, jumlah raka’at maksimal shalat Dhuha adalah 8 raka’at. Inilah pendapat kebanyakan ulama. Sebagai dalil penguat adalah hadits Ummu Hani (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 84).
Dari Ummu Hani binti Abi Tholib radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَامَ الْفَتْحِ ، فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ ، وَفَاطِمَةُ ابْنَتُهُ تَسْتُرُهُ قَالَتْ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ « مَنْ هَذِهِ » . فَقُلْتُ أَنَا أُمُّ هَانِئٍ بِنْتُ أَبِى طَالِبٍ . فَقَالَ « مَرْحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ » . فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ غُسْلِهِ ، قَامَ فَصَلَّى ثَمَانِىَ رَكَعَاتٍ ، مُلْتَحِفًا فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ ، فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، زَعَمَ ابْنُ أُمِّى أَنَّهُ قَاتِلٌ رَجُلاً قَدْ أَجَرْتُهُ فُلاَنَ بْنَ هُبَيْرَةَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ » . قَالَتْ أُمُّ هَانِئٍ وَذَاكَ ضُحًى
“Aku pernah menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun penaklukan kota Mekkah, aku menemukan beliau sedang mandi. Dan ketika itu putri beliau, Fathimah menutupi diri beliau dan Fathimah berkata setelah kuberi salam padanya. Kemudian Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata, “Siapa ini?” “Aku adalah Ummu Hani binti Abi Tholib”, jawabku. Beliau pun bersabda, “Selamat datang wahai Ummu Hani.” Ketika beliau selesai dari mandinya, beliau berdiri dan melaksanakan shalat 8 raka’at dengan memakai satu pakaian. Ketika beliau selesai dari shalatnya, aku berkata pada beliau, “Wahai Rasulullah, anak ibuku (yaitu ‘Ali bin Abi Tholib) menyangka bahwa ia boleh membunuh orang yang telah saya lindungi (yaitu) si Fulan bin Hubairah.” Maka beliau bersabda, “Kami telah lindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu Hani.” Ummu Hani berkata, “Demikianlah shalat Dhuha.” (HR. Bukhari no. 357 dan Muslim no. 336). Ini menjadi dalill bahwa maksimal raka’at shalat Dhuha adalah 8 raka’at.
Dalam kitab Al Iqna’ (1: 212) disebutkan bahwa pelaksanaan shalat Dhuha disunnahkan dilakukan dengan tiap dua raka’at salam.
Waktu Pelaksanaan Shalat Dhuha
Kapan waktu shalat Dhuha?
Kapan awal waktu shalat Dhuha dan akhirnya?
Kita tahu bagaimanakah keutamaan yang besar dari shalat Dhuha. Shalatnya bisa dilakukan hanya dua raka’at dan bisa lebih dari itu.
Di antara keutamaan Shalat Dhuha, bisa mempermudah urusan setiap muslim sebagaimana pelajaran dari hadits dari Nu’aim bin Hammar Al Ghothofaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ لاَ تَعْجِزْ عَنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ
“Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang.” (HR. Ahmad (5/286), Abu Daud no. 1289, At Tirmidzi no. 475, Ad Darimi no. 1451 . Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Bahkan shalat Dhuha bisa mengganti sedekah dengan seluruh persendian yang kita tahu ada 360 persendian pada tubuh kita. Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى
“Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak 2 raka’at” (HR. Muslim no. 720).
Kapan Waktu Shalat Dhuha?
Disebut Dhuha yaitu mulai dari waktu setelah matahari meninggi hingga dekat dengan waktu zawal (tergelincirnya matahari ke barat). (Lihat Minhatul ‘Allam, 3: 342)
Dari sini kita dapat bagi waktu Dhuha menjadi tiga:
1- Awal waktu yaitu setelah matahari terbit dan meninggi hingga setinggi tombak
Dalilnya adalah hadits dari ‘Amr bin ‘Abasah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَىْ شَيْطَانٍ وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Kerjakan shalat shubuh kemudian tinggalkan shalat hingga matahari terbit, sampai matahari meninggi. Ketika matahari terbit, ia terbit di antara dua tanduk setan, saat itu orang-orang kafir sedang bersujud.” (HR. Muslim no. 832). (Lihat Minhatul ‘Allam, 3: 347).
Kapan itu? Awal waktu shalat Dhuha kita-kira 15 menit setelah matahari terbit.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata, “Awal waktu shalat Dhuha adalah ketika matahari meninggi setinggi tombak ketika dilihat yaitu 15 menit setelah matahari terbit.” (Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 289)
2- Akhir waktu yaitu dekat dengan waktu zawal saat matahari akan tergelincir ke barat.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Sekitar 10 atau 5 menit sebelum waktu zawal (matahari tergelincir ke barat).” (Idem).
3- Waktu terbaik yaitu dikerjakan di akhir waktu.
Sedangkan waktu utama mengerjakan shalat Dhuha adalah di akhir waktu, yaitu keadaan yang semakin panas. Dalilnya adalah,
أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلاَةَ فِى غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
Zaid bin Arqom melihat sekelompok orang melaksanakan shalat Dhuha, lantas ia mengatakan, “Mereka mungkin tidak mengetahui bahwa selain waktu yang mereka kerjakan saat ini, ada yang lebih utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Waktu terbaik) shalat awwabin (shalat Dhuha) yaitu ketika anak unta merasakan terik matahari.” (HR. Muslim no. 748). Artinya, ketika kondisi panas di akhir waktu.
Imam Nawawi mengatakan, “Inilah waktu utama untuk melaksanakan shalat Dhuha. Begitu pula ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa ini adalah waktu terbaik untuk shalat Dhuha. Walaupun boleh pula dilaksanakan ketika matahari terbit hingga waktu zawal.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 28)
Referensi
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.
Minhatul ‘Allam Syarh Bulughul Maram, Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H.
Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, terbitan Daruts Tsaroya, cetakan ketiga, tahun 1425 H.
---------------------------------------------------------
Syaikh Dr. Musthofa Al Bugho berkata, “Waktu shalat Dhuha adalah mulai dari matahari meninggi hingga waktu zawal (matahari bergeser ke barat). Waktu afdholnya ketika telah masuk ¼ siang.” (At Tadzhib, hal. 50).
Ar Rofi’i mengatakan bahwa waktu pelaksanaan shalat Dhuha adalah mulai dari matahari meninggi (setinggi tombak) hingga istiwa’ (matahari di atas kepala, di pertengahan). Hal ini juga dikatakan oleh Ibnu Ar Rif’ah.
Imam Nawawi dalam Ar Roudhoh mengatakan bahwa waktu pelaksanaan shalat Dhuha menurut ulama Syafi’iyah dimulai dari terbitnya matahari, namun disunnahkan dimulai ketika matahari meninggi.
Waktu terbaik (mukhtaar) untuk shalat Dhuha adalah ketika telah masuk ¼ siang. Imam Nawawi pun menguatkan hal ini (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 84).
Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan,
أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلاَةَ فِى غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ ».
Zaid bin Arqom pernah melihat suatu kaum sedang melaksanakan shalat Dhuha, ia berkata, “Yang mereka tahu bahwa shalat di selain waktu ini lebih afdhol. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat awwabin yaitu ketika keadaan begitu panas.” (HR. Muslim no. 748).
Shalat Dhuha dalam hadits ini disebut dengan shalat awwabin yaitu shalat orang yang kembali taat sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah. Waktu afdhol shalat Dhuha adalah ketika sudah begitu siang diperkirakan telah masuk ¼ siang, yaitu keadaannya disebut dengan tarmadhul fishool, yaitu saat pasir mulai panas membakar dan anak unta meninggalkan induknya.
Keterangan:
1- Waktu matahari meninggi (setinggi tombak), sekitar 10 menit setelah matahari terbit. Silakan diperkirakan untuk setiap daerah karena waktu terbitnya matahari di setiap daerah berbeda-beda. Kalau matahari terbit jam 06.00, maka shalat Dhuha bisa dimulai pukul 06.10. Demikian keterangan para ulama yang sering penulis dengar dan baca.
2- Waktu terbaik shalat Dhuha adalah ketika telah masuk ¼ siang, berarti sekitar jam 7 pagi ke atas.
Semoga bermanfaat dan moga berbuah amal sholih dengan selalu bisa dirutinkan.
rumaysho.com