Bank Indonesia (BI) telah menyiapkan sanksi bagi pihak-pihak yang masih menggunakan mata uang asing atau valuta asing (valas) dalam kegiatan transaksi barang atau jasa di wilayah Indonesia.
Pelaksana Tugas Kepala Departemen Pengelolaan Uang BI, Eko Yulianto mengatakan, bagi pelanggaran kewajiban penggunaan rupiah untuk transaksi tunai akan dikenakan sanksi pidana sebagai mana diatur dalam Undang-Undang Mata Uang.
"Ada sanksi pidana kurungan maksimal 1 tahun dan membayar denda maksimal Rp 200 juta," ujarnya di Kantor BI, Jakarta, Selasa (9/6/2015).
Sementara itu, Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI, Ida Dwiyanti menjelaskan, untuk pelanggaran pada transaksi non-tunai, BI berwenang mengenakan sanksi administratif seperti teguran tertulis, denda berupa kewajiban membayar sejumlah 1 persen dari nilai transaksi dan atau maksimal Rp 1 miliar hingga sanksi larangan untuk ikut dalam lalu lintas pembayaran.
"Kalau non-tunai 1 persen dari nilai transksi. Ada teguran pertama, kedua, ketiga dan sanksinya berkaitan dengan sistem pembayaran yang bersangkutan. Misalnya biasanya perusahaan menggunakan cek. Kalau (dilarangan) tidak gunakan cek lagi, sanksi ini dinilai enteng tapi prakteknya sangat berat," jelas dia.
Dalam penegakan sanksi ini, lanjut Ida, pihaknya telah berkoordinasi dengan instansi kepolisian. Dengan demikian, pemberian sanksi pidana benar-benar bisa diterapkan.
"Karena itu diatur dalam UU, maka kami akan kerja sama dengan kepolisian, jadi ada sanksi pidana. Sedangkan untuk transaksi non-tunai, ini akan membuat prioritas. Kami lihat transaksi lalu lintas devisanya. Kalau di situ bisa pakai rupiah tapi dia pakai valas kita akanonside," tandasnya.
BI telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Bank Indonesia Nomor 17/11/DKSP perihal Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Surat Edaran ini dikeluarkan dan mulai berlaku pada 1 Juni 2015 lalu.
Ada beberapa hal yang diatur dalam SE ini. Pertama, soal kewajiban penggunaan rupiah di wilayah NKRI menganut asas teritorial. Jadi, setiap transaksi yang dilakukan di wilayah NKRI, baik dilakukan oleh penduduk maupun bukan penduduk, transaksi tunai maupun non tunai, sepanjang dilakukan di wilayah NKRI wajib menggunakan rupiah.
"Di area KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) untuk perdagangan bebas itu pun harus menggunakan rupiah. Dalam transaksi pembayaran, kita wajib menerima pembayaran menggunakan rupiah," ujar Eko.
Kedua, dalam rangka mendukung pelaksanaan kewajiban penggunaan rupiah, pelaku usaha baik perseorangan maupun korporasi wajib mencantumkan harga barang dan atau jasa hanya dalam rupiah, dan dilarang mencantumkan harga barang dan atau jasa dalam rupiah dan mata uang asing secara bersamaan (dual quotation).
"Jadi dilarang menggunakan dual quotation. Baik untuk sewa menyewa, tarif harus menggunakan rupiah," lanjutnya.
Ketiga, untuk proyek infrastruktur tertentu yang strategis, BI mempersilahkan adanya penyesuaian. Proyek-proyek tersebut akan dilakukan penilaian oleh BI secara langsung.
"Pelaksanaan kewajiban ini dapat disesuaikan apabila dinyatakan pemerintah pusat sebagai proyek infrastruktur strategis yang dibuktikan dengan surat dari kementerian atau lembaga terkait. BI akan melakukan assessment. Pemohon bisa menyampaikan akta pendirian perusahaan, surat dari kementeriandan lembaga dan fotokopi perjanjian," tandasnya.
SHARE !
Liputan6.com